welcome

S E L A M A T _ D A T A N G _ D I _ B L O G _ F O R U M _ K O M U N I K A S I _ S I S W A _ S M A N _ 1 _ S I D A Y U

Minggu, 28 Agustus 2011

FORMAT MEDIA

Media dapat diterbitkan dalam beberapa format, seperti "newsletter", majalah, tabloid, atau surat kabar. Setiap format memiliki kelebihan dan kekurangan dalam hal efektivitas penyampaian informasi. Hal pertama yang dipertimbangkan dalam memilih format media sudah tentu jawaban atas pertanyaan format apa yang paling cocok bagi pembaca, sesuai karakter pembaca itu sendiri. Pertimbangan kedua yang perlu diperhatikan dalam memilih format media adalah karakter fisik setiap format, karakter isi, periodisitas, kemudahan proses produksi, biaya, dan citra yang dikehendaki. Untuk membantu pemahaman yang lebih baik, uraian berikut akan menjelaskan lebih rinci karakter setiap format. 

Newsletter
  1. "Newsletter" umumnya menggunakan kertas HVS (atau kertas berkualitas lebih baik). Ukuran kertas yang digunakan biasanya A4 atau sedikit lebih kecil. Jumlah halaman berkisar antara 4 dan 12 halaman atau lebih. "Newsletter" bisa dijilid, bisa pula tidak dijilid. "Newsletter" lebih mudah dan lebih cepat diproduksi. Biasanya produksi juga lebih rendah.
  2. Tulisan yang dimuat pada "newsletter" biasanya lebih pendek. Kalimat yang digunakan lebih ringkas dan langsung ke pokok masalah.
  3. Sampul depan "newsletter", selain menampilkan nama media, tanggal terbit dan nomor edisi, juga memuat daftar isi dan sebuah tulisan lengkap. Kebanyakan "newsletter" tidak memuat foto. Halaman "newsletter" biasanya dibagi atas 2 -- 3 kolom.
  4. Ditilik dari segi kemudahan proses produksi, format "newsletter" yang biasanya tak banyak memuat foto dan hanya menggunakan dua warna, lebih mudah dikerjakan ketimbang format majalah, tabloid, atau surat kabar.
Majalah
  1. Selain menggunakan kertas koran untuk halaman dalam, majalah juga menggunakan kertas HVS atau kertas jenis lain yang lebih baik kualitasnya. Kertas yang digunakan berukuran A4 atau sedikit lebih besar. Namun, ada pula majalah yang menggunakan ukuran lebih kecil, seperti "Intisari" atau "Reader`s Digest".
  2. Sampul majalah banyak menggunakan kertas yang lebih tebal dan berkualitas lebih baik ketimbang halaman dalamnya. Dengan demikian, kualitas cetak sampul bisa diupayakan lebih baik, agar tampak lebih menarik.
  3. Tampilan majalah tampak lebih serius dan dijilid dengan baik sehingga cocok untuk didokumentasi. Untuk media korporasi/organisasi, jumlah halaman sekitar 16 -- 24 halaman, atau lebih. Majalah bisa memuat tulisan yang lebih banyak dan lebih panjang. Halaman majalah biasanya dibagi atas 2 -- 4 kolom.
Tabloid
  1. Tabloid kebanyakan menggunakan kertas koran. Ukuran kertas yang digunakan sekitar setengah kali ukuran kertas koran. Sampul tabloid umumnya juga menggunakan jenis kertas yang sama dengan jenis kertas yang digunakan pada halaman dalam.
  2. Tampilan tabloid tampak lebih populer. Bisa dicetak dua warna atau lebih. Penataan perwajahan tabloid merupakan paduan antara desain yang ditetapkan pada majalah dan surat kabar. Halaman tabloid biasanya dibagi atas 3 -- 5 kolom.
  3. Tabloid umumnya tidak dijilid. Jadi, suatu edisi bisa dibaca bersama-sama oleh beberapa orang, masing-masing satu lembar terpisah. Untuk media korporasi/organisasi, jumlah halaman tabloid yang biasa digunakan sekitar 8 -- 16 halaman.
Surat kabar
  1. Mempersiapkan format surat kabar sedikit lebih sukar ketimbang format lainnya. Satu halaman surat kabar biasanya memuat sejumlah item tulisan. Oleh sebab itu, perlu ditata secara baik agar tampak menarik dan mudah dibaca.
  2. Surat kabar tidak dijilid. Jadi, dapat dibaca bersama-sama oleh sejumlah orang, masing-masing membaca lembar yang berbeda, asal tulisan yang bersambung tidak terdapat pada lembar yang berbeda. Di Indonesia, ukuran kertas yang digunakan adalah sekitar 42 cm x 58 cm. Jenis kertas yang digunakan adalah kertas koran.
  3. Halaman surat kabar biasanya dibagi atas sejumlah kolom, biasanya 7 -- 9 kolom. Pola desain halaman surat kabar belakangan ini banyak menggunakan pola modular (pola yang memungkinkan halaman dibagi atas sejumlah bidang persegi empat, bisa membujur dari atas ke bawah, bisa melintang dari kiri ke kanan).
  4. Karena menggunakan kertas koran, kualitas cetak surat kabar tidak sebaik kualitas cetak majalah yang menggunakan kertas HVS atau sejenis. Karena itu, belasan tahun lalu warna jarang digunakan untuk surat kabar. Meskipun demikian, berkat perkembangan teknologi, penggunaan warna pada tampilan surat kabar sudah semakin populer akhir-akhir ini.

MENULIS BERITA YANG BAIK

Tips cara menulis berita #1: Menulis dengan jujur. Fakta tidak boleh dipelintir. Opini dan penafsiran harus ditulis dalam alinea yang berbeda. Boleh tidak netral, tapi harus independen.

Berbohong dalam berita adalah dosa terberat wartawan. Jika jumlah aktivis LSM yang mendemo bupati hanya puluhan orang, jangan tulis ratusan atau ribuan orang. Berita bohong seperti ini sangat sering muncul di koran-koran daerah, terutama menyangkut liputan pilkada.
Jika harus menulis interpretasi atas sebuah fakta, tuliskanlah di paragraf terpisah, dan tunjukkan secara jelas kepada pembaca supaya mereka tahu mana yang fakta dan mana opini atau penafsiran si wartawan.
Reporter yang meliput berita di lapangan harus bersikap independen terhadap semua pihak yang terkait dengan topik tulisannya. Berikan kesempatan yang sama bagi semua narasumber untuk menjelaskan versi mereka, jangan memvonis kebenaran. Wartawan boleh tidak netral, misalnya kalau harus memihak pada rakyat yang jadi korban penindasan penguasa, namun harus selalu independen dengan memberikan kesempatan pada penguasa untuk berbicara.

Tips cara menulis berita #2: Tanda baca koma dan pola piramida terbalik.

Berhati-hatilah menggunakan tanda baca koma. Bila salah penempatan, maka redaktur di kantor redaksi bisa salah memahami laporan anda. “Amir memukul, Budi ditangkap polisi” (yang memukul ialah si Amir, kok malah Budi yang ditangkap) adalah berbeda maknanya dengan “Amir memukul Budi, ditangkap polisi” (ini benar, yang ditangkap adalah Amir).
Menulis berita biasa haruslah dalam format piramida terbalik. Yang paling penting di bagian paling atas; alinea-alinea di bawahnya semakin kurang penting. Saya sering membaca berita koran daerah yang memuat nama-nama pejabat yang menghadiri sebuah acara seremonial pada alinea kedua atau ketiga, padahal inti beritanya justru di alinea kelima atau bahkan menjelang akhir.

Tips cara menulis berita #3: Catat dengan detail. Dengarkan dengan cermat. Rekam, jangan andalkan ingatan.

Saya sering melihat reporter koran yang baru beberapa tahun bekerja melakukan wawancara atau liputan berita di lapangan dengan tidak mencatat sama sekali! Manusia dengan otak super! Bahkan hanya duduk di warung kopi dengan jarak seratusan meter dari lokasi demo atau acara seremonial yang akan jadi topik beritanya. Tapi sepulang meliput, dia bisa dengan santai menulis berita di komputer warnet, tanpa takut sedikit pun bahwa kemungkinan ada data dan fakta yang salah-tulis.
Wartawan pemula sering malu untuk bertanya, “Pak Kadis, ejaan nama Bapak yang benar Jhonny atau Joni atau bagaimana?”
Kalau narasumber mengucapkan kalimat dengan makna ganda atau kurang jelas, tanyakan kembali dan tegaskan. Jangan sampai yang dia maksud adalah “Polisi belum akan memeriksa dia” tapi anda tulis dalam berita sebagai “Polisi tidak akan memeriksa dia”.

Tips cara menulis berita #4: Tulis dalam kalimat yang jelas, lengkap, dan jernih.

Redaktur koran harian akan membiarkan naskah berita reporter yang ditulis dengan kalimat yang membingungkan, karena dia dikejar tenggat menyelesaikan halamannya. Kalau anda menulis berita kriminal tentang mencuri, maka sebutkan sejelas-jelasnya SIAPA yang mencuri, SIAPA yang menjadi korban, dan APA yang dicuri. Jangan anda malah asyik menulis BAGAIMANA pencurian itu terjadi, atau ajakan kapolsek agar warga melakukan ronda malam.
Yang paling mendasar dalam sebuah berita biasa ialah APA dan SIAPA, baru kemudian DI MANA, KAPAN dan yang lainnya. Jangan tulis “Menurut Amir, bla-bla-bla…” tanpa anda jelaskan siapa itu si Amir; apakah dia demonstran, penonton aksi demo, atau pendukung pihak yang didemo.
Sering saya melihat pembaca koran menggerutu, “Apa maksudnya berita ini, tak jelas.” Berita mesti ditulis dengan kalimat yang jernih. Susunlah kalimat-kalimat tunggal, dan sebisa mungkin hindari memakai anak kalimat jika hal itu berpotensi membuat pembaca bingung.

Tips cara menulis berita #5: Fokus pada topik berita. Jangan melebar ke sana-sini.

Sejak meliput dan wawancara di lapangan, reporter koran sudah harus tahu apa topik atau sudut pandang laporannya. Bila memilih “nasib guru honorer berupah kecil”, maka temuilah pihak-pihak yang terkait dengan isu tersebut. Selain wawancara dengan guru, tanyai juga kepala sekolah, pejabat Dinas Pendidikan, anggota DPRD dari komisi yang membidangi pendidikan, pensiunan guru, dll. Jangan malah anda hanya mengutip komentar aktivis LSM karena dia punya saudara yang baru diputus-kontrak sebagai guru honorer.
Kalau misalnya anda kesal melihat seorang pejabat yang suka berindehoi di kafe-kafe malam, maka liputlah itu secara khusus dan jangan selipkan pada berita bertopik lain, “Ditanya mengenai dugaan korupsi stafnya, Kepala Dinas yang sering berdisko di Tenda Biru ini mengatakan….” Terlalu nampak ‘kali tak dikasih amplop. Malu kita sebagai wartawan.

Tips cara menulis berita #6: Tulis dengan proporsional, jangan berlebihan.

Ini kelemahan banyak reporter koran di daerah. Fakta yang diaperoleh dari narasumbernya, katakanlah kejaksaan, adalah bahwa Kabag Umum sedang diselidiki terkait kasus dugaan penggelembungan dana pembelian seprai dan gorden rumah dinas bupati. Tapi kemudian ditulisnya dalam berita “Tapanuli Utara sarang korupsi”. Jika anda ingin menulis berita Tapanuli Utara sebagai sarang korupsi, maka beberkanlah sekian banyak data kasus korupsi di daerah itu.
Ada wartawan koran menulis berita “Dengan arogannya Camat menjawab via telepon bahwa…” hanya karena si narasumber berbicara ketus-ketus.
Sebaliknya reporter lain yang baru mendapat amplop tebal dari pejabat mengirim naskah berita ke redaksinya “Bupati yang sangat dicintai rakyatnya ini mengatakan…,” padahal si bupati baru saja ditetapkan sebagai tersangka korupsi dan beberapa kali didemo warga.

Tips cara menulis berita #7: Periksa kalimat kutipan, pernyataan off the record, konfirmasi, dan “ucapan di kedai kopi”.

Jangan biarkan beritamu memiliki celah untuk digugat ke pengadilan. Jika harus menulis kalimat langsung, maka tulislah seperti apa adanya diucapkan oleh narasumber. Bila dia mengucapkan kalimat dalam bahasa daerah, misalnya bahasa Batak, telitilah saat menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.
Saat melihat catatan atau mendengar rekaman wawancara, jika anda bingung atau lupa mana bagian informasi yang merupakan pernyataan off the record (tidak untuk ditulis) dan mana yang bukan, tunda dulu menuliskan bagian itu sebelum berhasil mempertanyakan kembali pada narasumber berita.
Si A menuding si B. Apakah anda sudah melakukan konfirmasi pada si B? Jika belum, jangan dulu menulis berita itu. Kalaupun harus, karena alasan-alasan tertentu, seperti deadline atau faktor kemenarikan topik berita, maka samarkanlah secara total identitas si B. Kalau si A menuding si B dalam tiga hal, maka konfirmasinya tidak boleh hanya menyangkut satu hal.
Wartawan koran duduk-duduk santai bersama pejabat dan politikus di kedai kopi, lalu ada seorang pejabat yang melontarkan pernyataan menarik, kemudian si reporter mengutip kalimat tadi dalam beritanya dengan menuliskan nama si pejabat. Jangan lakukan yang begini. Anda harus kembali menemui si pejabat untuk meminta izin apakah kalimatnya itu boleh anda kutipkan ke dalam berita.

Tips cara menulis berita #8: Yang terakhir, dan ini sangat mendasar: Patuhilah kode etik jurnalistik yang melarang wartawan melakukan plagiat atau menjiplak.

Jangan kira jika anda mengutip beberapa kalimat berita dari koran lain, atau menyadur bahan dari Internet, maka hal itu tidak akan ketahuan. Percayalah, cepat atau lambat akan ada pembaca yang komplain dan menyampaikannya kepada redaksi anda di kantor. Jika begitu, karir kewartawanan anda sudah sedang di ujung tanduk. Redaktur anda akan wanti-wanti untuk menerbitkan berita yang anda laporkan, dan koran lain pun akan berpikir keras untuk menerima lamaran dari wartawan tukang jiplak.
Saya punya pengalaman soal ini. Dulu di sebuah koran mingguan, di mana saya menjadi pemimpin redaksi, ada seorang redaktur saya yang menulis ulasan mengenai ulos Batak “sepanjang air sungai mengalir” alias sangat-sangat panjang. Tulisan itu terbit beberapa edisi, dan memakan ruang satu halaman penuh. Pada edisi kedua, ada seorang pembaca mengirim email kepada saya, dan ada dua orang lainnya yang menelepon langsung ke ponsel saya. Mereka komplain dan mengatakan bahwa artikel perihal ulos Batak itu adalah plagiat alias dijiplak dari situs blog di Internet, dan bukan karya si redaktur.
Memang pada tulisan itu, di bawah judulnya, tertulis “oleh…” (tanda titik-titik adalah nama si redaktur), tanpa keterangan sedikit pun bahwa karya tersebut dikutip dari sejumlah blog Internet. Bahkan dengan beraninya si redaktur menulis kredit-foto pada gambar-gambar ulos: “Foto oleh…” (juga tertulis namanya).
Setelah saya cek dan benar bahwa semua isi artikel dan foto itu adalah karya cipta milik beberapa blogger di Internet, pada koran edisi berikutnya saya menambahkan keterangan di bawah judul: “Dikutip dari berbagai sumber di Internet”. Seharusnya saya hendak menulis alamat-alamat blog yang dikutip, tapi ada alasan tertentu sehingga tidak jadi.
Beberapa hari kemudian dalam rapat redaksi, si redaktur malah protes pada saya. “Mengapa Pemred bikin begitu. Itu sama saja telah melecehkan saya. Berhari-hari saya mencari bahannya dan menggabungkannya menjadi satu tulisan,” katanya.
Bah, makjang! Sudah ketahuan menjiplak tapi masih berkelit pula. Yang dilecehkan itu sebenarnya siapa: dia atau blogger si penulis asli? Tidak lama kemudian, setelah muncul kesalahan-jurnalistik lain dalam tugasnya sebagai redaktur, akhirnya saya memecat dia dan mencari redaktur baru.

JURNALISME BARU: KEMBALILAH KE AKAR

Majalah berita mingguan yang bermarkas di London, The Economist edisi terbaru (24 Agustus 2006) menurunkan laporan utama dengan judul provokatif, Who Killed the Newspaper? Laporan tersebut mengupas kondisi terakhir yang tengah dihadapi oleh suratkabar di seluruh dunia, yang secara umum menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah tiras.
Jauh sebelumnya, persisnya di bulan April 2005, di hadapan Perhimpunan Para Editor Suratkabar Amerika Serikat, “raja” media Rupert Murdoch menyampaikan pidato yang menyengat. Menurut pemilik salah satu perusahaan media terbesar di dunia ini, News Corporation, para pemilik, pengelola, dan editor suratkabar tengah menghadapi ancaman sangat serius yang telah hadir di hadapan mata sejak beberapa tahun terakhir: para pembaca mulai meninggalkan suratkabar. Penyebabnya jelas, yakni hilangnya sentuhan dan keterkaitan antara mereka yang mengurusi suratkabar, terutama para editor dan wartawan yang bertanggungjawab terhadap isi, dengan para pembaca. Di saat bersamaan dengan menyusutnya jumlah pembaca lama, para pembaca baru pun – yakni mereka yang berangkat remaja dan yang memasuki usia pra-dewasa, tak berhasil pula direngkuh.
Menurut Murdoch, kaum muda yang semestinya menjadi lahan baru bagi suratkabar untuk meningkatkan jumlah pembaca, tak ingin menyandarkan diri mereka kepada sosok seperti dewa, yang menyampaikan sabda kepada mereka tentang apa yang dianggap penting. “Kaum muda ini jelas-jelas tidak menginginkan berita yang disampaikan bagaikan kitab suci. Sebagai sebuah industri, anehnya banyak dari kita yang selama ini berpuas diri,” ujar Murdoch.
Keprihatinan sang raja media yang di Inggris antara lain memiliki tabloid The Sun yang terbit harian dengan tiras pada kisaran lebih dari dua juta eksemplar, dan mingguan News of the World dengan tiras lebih dari empat juta eksemplar ini didasarkan kepada data-data yang memang bisa mengundang rasa cemas para pengelola suratkabar. Untuk periode antara 1995-2003, misalnya, data Asosiasi Penerbit Suratkabar Sedunia (World Association of Newspapers, bermarkas di Paris), jumlah total tiras suratkabar mengalami penyusutan 2% di Jepang, 3% di Eropa. Penurunan tiras bahkan lebih terasa lagi di Amerika, mencapai 5%. Di tahun 1960-an, empat dari lima warga Amerika Serikat membaca satu suratkabar setiap hari. Dewasa ini hanya separuh dari warga negeri Bush itu yang meneruskan kebiasaan ini.

Kecenderungan yang tak tercegah
 
Kecenderungan ditinggalkannya suratkabar ini sebetulnya sudah sejak lama menjadi bahan pembicaraan di kalangan pelaku dan pengamat industri media. Sebagian besar data dalam tulisan ini menggunakan Amerika Serikat sebagai rujukan, karena memang negeri inilah yang paling konsisten melakukan survei dan pendataan media. Dari data di AS ini, penurunan tiras suratkabar sudah mulai terlihat sejak tahun 1964. Setiap tahun terjadi penyusutan sebesar setengah persen, sebuah angka yang mulanya dianggap tidak terlampau serius. Itulah yang agaknya menjadi penyebab munculnya respons yang tidak terlampau serius pula dari para pemilik dan pengelola media. Mereka menganggap penurunan tersebut hanyalah kecenderungan sesaat, yang dalam waktu dekat akan berbalik arah lagi.
Namun ternyata itu hanyalah harapan kosong. Tahun demi tahun, persentase penurunan tiras kian tampak nyata. Sebuah survei, misalnya, menunjukkan penurunan jumlah tiras total suratkabar AS setiap minggu, yang di tahun 1985 berada pada angka 63 juta, namun 15 tahun setelahnya menjadi 56 juta eksemplar. Harap diingat, pada kurun waktu tersebut jumlah total penduduk AS meningkat hampir 45 persen.
Data dari Audit Bureau of Circulations di AS mengenai jumlah tiras rata-rata 20 suratkabar terkemuka di AS untuk periode enam bulan dari Oktober 2005 sampai 31 Maret 2006 , menunjukkan dengan jelas bahwa dari total 20 suratkabar AS bertiras terbesar hanya lima (25%) yang mengalami kenaikan; selebihnya mengalami penurunan.
Di tahun 1999 kecenderungan penurunan tiras ini mulai dirasakan dalam dalam skala global, dan mulai dianggap sebagai ancaman yang tidak main-main bagi para pelaku industri suratkabar. Pada tahun tersebut, angka penurunan mulai mencapai 2% setiap tahun, hampir setiap tahun angkanya membesar. Di AS sendiri, jumlah tenaga kerja di industri suratkabar merosot 18% dalam kurun waktu antara tahun 1990-2004. Petunjuk penting lainnya yang mencerminkan keprihatinan yang menimpa industri suratkabar ini adalah dijualnya sejumlah suratkabar yang berada dalam kelompok bisnis Knight Ridder, di tahun 2005 lalu. Di bawah kendali kelompok inilah semula beberapa suratkabar besar di AS berada. Penjualan ini mengakhiri sebuah sejarah yang telah terentang selama 114 tahun. Tahun 2006 ini, bank investasi Morgan Stanley, memberikan catatan merah untuk New York Times Company, perusahaan yang menerbitkan suratkabar paling berpengaruh di dunia, The New York Times. Catatan merah itu diberikan karena harga saham perusahaan tersebut yang melorot hingga setengahnya dalam waktu empat tahun terakhir ini.
Berpedoman pada kecenderungan penurunan yang terus berlanjut inilah maka Philip Meyer, seorang guru besar jurnalisme dari AS, lewat bukunya yang provokatif, The Vanishing Newspaper: Saving Journalism in the Information Age (University of Missouri Press, 2004) membuat ramalan yang niscaya bisa membuat bergidik para pemilik suratkabar: jika tidak ada teroboson yang radikal dan inovatif yang bisa merangkul kembali para pembaca, maka tahun 2040 lonceng kematian untuk suratkabar akan berdentang. Itulah tahun terakhir dimana suratkabar diterbitkan dan masih bisa dinikmati oleh para pembaca yang jumlahnya tinggal segelintir. Selepas tahun tersebut, suratkabar hanyalah bagian dari sejarah. Ia hanya tinggal sebagai arsip yang dipelihara di museum.

Beberapa penyebab penurunan tiras
 
Kemanakah perginya para pembaca suratkabar ini? Selama satu dekade terakhir ini, para pengamat dan pelaku industri suratkabar melakukan telaah yang serius untuk mencari faktor penyebab ditinggalkannya suratkabar oleh para pembaca. Salah satu yang kemudian sering disebut sebagai penyebab utama adalah kian berjayanya Internet, termasuk kemampuannya untuk menjadi penyedia informasi dan berita. Kaum remaja dan yang berada di ambang dewasa – yang memang tumbuh bersamaan dengan berkembangnya Internet – merasa lebih nyaman untuk mencari informasi dan berita lewat Internet ketimbang lewat suratkabar. Di tahun 1990-an, portal Internet terkenal seperti Yahoo! sudah menyediakan layanan informasi dan berita ini.
Benar bahwa televisi sejauh ini masih menempati posisi tertinggi sebagai sumber untuk mendapatkan informasi dan berita. Namun Internet, khususnya portal-portal berita, kian populer di kalangan kaum muda. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa kelompok usia 18-34 tahun terus bertambah jumlahnya dalam hal menggunakan Internet sebagai sumber informasi mereka. Lebih dari 40 persen responden dalam survei ini mengaku mengunjungi portal berita setidaknya sekali sehari, sebuah persentase yang lebih besar dibandingkan jumlah kelompok umur ini yang mencari berita dari suratkabar versi cetak setiap hari. Data lain di AS juga menunjukkan bahwa jumlah mereka yang membaca berita melalui sumber-sumber online mencapai 53,8 juta, hampir sama dengan jumlah mereka yang membaca suratkabar dalam versi cetak, yakni 54,6 juta.
Namun lebih dari sekadar kian berjayanya Internet terutama di kalangan kaum muda ini, penurunan jumlah tiras suratkabar juga disebabkan oleh perilaku para pengelola suratkabar sendiri yang – menurut istilah Rupert Murdoch dalam sambutannya yang dikutip di awal tulisan ini – “telah kehilangan sentuhan dengan para pembaca.” Para pengelola suratkabar, terutama para editor dan wartawan, masih merasa sebagai penguasa informasi yang sok tahu, yang terus mendikte pembaca mengenai apa yang harus mereka ketahui. Pendekatan seperti ini, menurut Murdoch, harus diubah total, sehingga tidak akan pernah lagi terdengar pertanyaan dari editor di ruang redaksi yang berbunyi, “Berita apa yang kita punya hari ini?”. Pertanyaan ini harus diganti menjadi, “Apakah ada orang yang menginginkan berita ini?”
Sikap sebagian orang terhadap suratkabar memang telah berubah, terutama di negeri-negeri yang teknologi informasinya telah berkembang jauh. Mereka tak ingin lagi didikte mengenai apa yang baik-tidak baik, penting-tidak penting. Mereka ingin didengarkan, karenanya mereka menginginkan perdebatan dan bukan ceramah. Dikaitkan dengan berita di suratkabar, mereka ingin memperoleh penjelasan mengenai konteks sebuah peristiwa, bukan semata-mata laporan tentang sebuah kejadian. Dengan kata lain, mereka tidak hanya menginginkan jurnalisme yang sekadar memberikan informasi tentang aspek “what” sebuah peristiwa, melainkan juga aspek “why” nya.
Mereka memerlukan konteks yang jernih dari sebuah peristiwa. Ambil contoh bencana lumpur PT Lapindo Brantas di Sidoardjo, Jawa Timur. Suratkabar yang meliput dengan mempertimbangkan konteks tentu tidak semata-mata melaporkan kejadian itu, melainkan juga mengejar lebih jauh hingga ke penyebab peristiwa, dampaknya yang luas, bahkan sampai ke penjelasan mengapa hingga sekarang tidak ada juga tindakan tegas pemerintah terhadap mereka yang semestinya bertanggungjawab atas bencana tersebut.
Mereka juga ingin informasi yang secara langsung berpengaruh kepada diri mereka, yang bisa secara langsung mereka manfaatkan. Mereka mungkin tak terlampau peduli dengan pemberitaan mengenai terorisme yang selalu digembar-gemborkan oleh AS dan para sekutunya. Namun mereka akan terpikat jika disuguhkan juga informasi mengenai dampak langsung aksi-aksi terorisme ini, misalnya saja pengaruhnya terhadap kawasan wisata semacam Pulau Bali. Mereka juga menginginkan berita yang bisa mereka akses setiap saat mereka mau, dengan isi yang mengalami update secara berkala.
Pada hakekatnya, mereka ingin memiliki porsi yang lebih besar dalam bersentuhan dengan media. Mereka tak ingin sekadar dijadikan sebagai obyek untuk mendapatkan jumlah pembaca, dan dengan itu suratkabar bisa “berjualan” ke biro iklan untuk mendapatkan pemasukan, melainkan juga sebagai subyek yang ingin diajak berpartisipasi dalam proses dialog antara suratkabar dan masyarakat pembaca. Inilah masa dimana para pembaca bukan lagi orang yang bodoh bagai kerbau yang dicocok hidung, melainkan orang-orang yang pintar dan memiliki pandangan serta aspirasi sendiri yang patut didengar oleh pengelola suratkabar. Lebih dari satu dasawarsa yang lalu, pemikir Ignas Kleden sudah mengingatkan pentingnya para pengelola suratkabar terusmenerus meningkatkan kemampuan profesional mereka, karena sudah banyak pembaca yang jauh lebih pintar dan tajam analisisnya ketimbang para editor dan wartawan yang mencekoki mereka dengan gaya “sok tahu” itu.
Hilangnya sentuhan antara pengelola suratkabar dan masyarakat pembaca ini semakin diperburuk oleh kenyataan lain, yakni munculnya kasus-kasus yang berkaitan dengan integritas. Sejumlah skandal terjadi dalam beberapa tahun belakangan, bahkan menimpa suratkabar yang selama ini diketahui memiliki reputasi terpuji, The New York Times. Suratkabar paling berpengaruh di AS ini di tahun 2003 harus ternoda oleh tindakan seorang repoter mudanya, Jayson Blair, karena terbukti melakukan berbagai kecurangan dalam menunaikan tugas jurnalistiknya, termasuk tindak plagiat dan fabrikasi berita. Setidaknya ada 36 tindak kejahatan jurnalistik yang terbukti telah diperbuat oleh Blair. Skandal-skandal semacam ini, menurut pakar etika jurnalistik, Bill Kovach, yang berpraktek lebih dari 40 tahun sebagai wartawan, telah mengikis kepercayaan pembaca terhadap suratkabar.
Satu faktor lain perlu juga dicatat, yang disebut-sebut ikut menyumbang terhadap larinya para pembaca suratkabar ini: ketidakpahaman wartawan terhadap topik yang digarap. Sebuah studi pernah dilakukan untuk melihat lebih jauh faktor ini, dan ditemukanlah sejumlah penyebab mengapa wartawan tidak memiliki pemahaman terhadap subyek liputannya. Penyebabnya mulai dari wartawan yang memang tak memahami sepenuhnya subyek liputan, tekanan untuk mengejar tenggat (deadline), tidak melakukan riset pendahuluan yang memadai, latar belakang subyek liputan yang kompleks sehingga bisa menimbulkan kebingungan, kemalasan para senior di ruang redaksi untuk menyempurnakan berita yang tak jelas itu, wartawan tidak mengajukan pertanyaan yang cukup, wartawan tidak mengajukan pertanyaan yang tepat.

Situasi Indonesia

Kecenderungan penurunan tiras suratkabar ini dirasakan juga di Indonesia. Jumlah tiras suratkabar memang sempat melonjak tajam tak lama setelah Indonesia memasuki era reformasi di tahun 1998. Ini tentu bisa dimaklumi, karena katup yang selama ini ditutup pemerintah Orde Baru, dibuka oleh rejim Presiden Habibie lewat Menteri Penerangan Yunus Yosfiah. Tidak diperlukan lagi perizinan untuk mendirikan suratkabar, sehingga praktis siapapun boleh terjun ke bisnis ini. Ratusan suratkabar baru bermunculan, di pusat dan di daerah. Namun peningkatan yang tiba-tiba ini tidak mampu bertahan lama, terutama karena hukum tangan besi dari pasar bebas.Tak lama kemudian, penurunan tiras suratkabar sudah menjadi kecenderungan yang berlangsung dari tahun ke tahun. Data terakhir berdasarkan hasil riset AC Nielsen untuk periode April-Juni 2006 ini, menunjukkan hampir semua suratkabar di Indonesia mengalami penurunan jumlah pembaca. Beberapa suratkabar utama mengalami penurunan antara 20-44%. Suratkabar paling berpengaruh dengan tiras salah satu yang terbesar, Kompas, menyusut sebesar 0,4%.
Untuk kasus Indonesia, perkembangan Internet belumlah dianggap sebagai penyebab utama penurunan tiras suratkabar. Alasannya jelas; berbeda dengan di negara-negara dimana penetrasi Internet sudah melampaui separuh dari jumlah penduduk, di Indonesia Internet masih merupakan barang mewah yang hanya diakses oleh kurang dari 5% total populasi. Jika bukan karena pengaruh Internet, apa yang telah memicu penurunan tiras di Indonesia ini? Memang belum ada data dari hasil riset menyeluruh yang meneropong masalah ini, namun kuat dugaan penurunan tiras suratkabar Indonesia ini disebabkan oleh dua faktor utama: yaitu eksternal (yang berasal dari lingkungan atau situasi di luar industri suratkabar), dan internal (yang muncul dari dalam industri suratkabar sendiri).
Untuk faktor eksternal, yang sangat nyata adalah daya beli yang menurun secara drastis, terutama dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sepanjang tahun 2005 lalu. Kenaikan BBM ini telah mengakibatkan penurunan pendapatan masyarakat, sekaligus penurunan strata mereka. Kelompok masyarakat yang tadinya masih tergolong kelas menengah (sehingga diasumsikan masih mungkin menyisihkan sebagai penghasilan mereka untuk mengkonsumsi suratkabar), kini merosot ke kelas bawah. Dalam status baru ini, menyisihkan sebagian penghasilan untuk berbelanja informasi boleh jadi telah dianggap sebagai suatu kemewahan, atau sebuah kemubaziran. Mereka lebih memilih untuk mendapatkan informasi dari sumber-sumber yang gratis (televisi dan radio). Bertambahnya jumlah stasiun televisi dan radio juga termasuk dalam faktor eksternal ini, yang membuat masyarakat memiliki begitu banyak pilihan sumber informasi dan berita tanpa harus membayar, tidak seperti jika mereka harus mendapatkannya dari suratkabar.
Sedangkan yang termasuk dalam faktor internal antara lain adalah menurunnya kredibilitas dan integritas suratkabar. Kredibilitas terkait dengan hal ihwal seperti lemahnya kemampuan profesional wartawan/editor sehingga berita yang disajikan dipertanyakan mutunya; ketidakpedulian terhadap etika jurnalistik. Adapun integritas berhubungan dengan independensi para pelaku/pengelola suratkabar tersebut. Kedua aspek ini merupakan masalah sangat serius yang kini tengah dihadapi oleh industri suratkabar Indonesia. Begitu banyak kasus yang menimpa suratkabar Indonesia berkaitan dengan kredibilitas dan integritas ini, mulai dari sejumlah media yang sama sekali tidak mengindahkan etika (menyajikan topik dan bahasa yang vulgar dan tak beradab, gambar-gambar berselera rendah, mengeksploitasi seks-kekerasan-mistik), hingga ke kasus-kasus suap baik terang-terangan melalui tindak pemerasan terhadap narasumber maupun lewat cara halus dengan menghalalkan praktek “jurnalisme amplop” ataupun membuka diri untuk “dibeli” oleh pihak yang berkuasa secara politik maupun finansial.
Suratkabar yang diragukan independensinya karena tergantung kepada kekuatan finansial dari lembaga di luar dirinya ini sudah menjadi sebuah praktek yang meluas, terutama di daerahdaerah. Banyak suratkabar di daerah yang menyediakan halaman khusus untuk “dibeli” oleh pihak pemilik uang, yang paling sering adalah pemerintah daerah. Halaman ini kemudian bisa digunakan secara bebas pihak pemda untuk diisi dengan informasi/berita yang meningkatkan citra pemda. Celakanya, tidak ada penjelasan yang tegas dari pengelola suratkabar yang bersangkutan bahwa “halaman dedikasi” tersebut sebetulnya bukanlah berita murni, melainkan iklan terselubung. Praktek yang benar mengatur bahwa pembaca harus diberi petunjuk yang jelas yang membedakan antara berita dan iklan, misalnya dengan mencantumkan penjelasan tersebut secara tertulis (lazimnya diberi label “advertorial”, gabungan dari advertisement alias iklan dan editorial).
Merujuk kembali ke bagian terdahulu yang menyebutkan bahwa larinya pembaca suratkabar antara lain juga karena pembaca tak disuguhi sajian berita dengan kandungan yang bermutu dan kemasan yang menarik. Kondisi seperti ini juga menjadi menu sehari-hari suratkabar di Indonesia. Comotlah secara acak suratkabar di setiap kota, maka tidak sulit bagi kita untuk menjumpai berita-berita yang masuk dalam kelompok tadi: mencerminkan ketidakpahaman wartawan terhadap obyek yang dilaporkannya.
Ambil contoh salah satu berita di harian Kompas, edisi 2 Januari 2005, halaman 4, di bawah judul “Dana Pemulihan Aceh Belum Jelas”. Pada alinea pertama terbaca kalimat berikut: Pencantuman permintaan pemerimaan untuk Aceh sebesar lima persen plafon Dana Alokasi Umum secara nasional harus dilihat lebih sebagai kebutuhan Aceh untuk pemilihan setelah puluhan tahun terlibat konflik dan juga dihantam bencana besar tsunami. Soal besar Dana Alokasi Umum yang diminta, perdebatan mungkin saja akan lumayan alot karena beragam pertimbangan. Alinea ini tentu bisa diperjelas, dipersingkat (termasuk mengurangi istilah “Dana Alokasi Umum” yang disebut dua kali).
Tentu saja kita bisa menderetkan contoh semacam ini hingga berhalaman-halaman. Contoh lainnya dalam skala yang lebih serius karena berpotensi menyesatkan khalayak pembaca dapat dilihat pada berita “Misteri Sang Perekam Peledak Bom”, yang dimuat di halaman muka harian Kompas, 7 Oktober 2005. Topik berita ini tentu saja amat-sangat menarik, karena berkaitan dengan peristiwa peledakan bom Bali II, 1 Oktober 2005. Judulnya juga sangat mengundang rasa ingin tahu pembaca. Namun isinya mengandung sejumlah persoalan mulai dari struktur yang sebetulnya bisa dibuat lebih runtut dan jernih, sampai kepada masalah yang lebih serius yaitu lemahnya verifikasi (sebagian besar informasi diperoleh dari pihak kepolisian, dan terkesan tidak ada upaya dari wartawan yang melaporkan peristiwa ini untuk menggugat keabsahan informasi itu lebih jauh). Laporan tersebut juga memuat opini yang tidak begitu simpatik, karena menempatkan pembaca yang tak sepandangan dengan isi laporan tersebut sebagai pihak yang penuh curiga sehingga bisa menghambat proses pendewasaan bangsa Indonesia.
Saya ambil contoh lain, salah satu berita di halaman muka koran Tempo edisi Jumat, 20 Agustus 2004, di bawah judul “Air Mancur HI Terhenti Karena Pencuri Kabel”. Isi berita: air mancur di kawasan Bundaran Hotel Indonesia (HI) Jakarta mati karena ada kabel listrik yang berfungsi menggerakkan air itu dicuri. Pemberi keterangan: Asisten Pembangunan Pemda DKI, dan Kepala Dinas Pertamanan DKI. Karena kejadian ini, sistem air mancurnya jadi rusak, dan butuh dana untuk perbaikan. Dananya sedang dihitung, dan disebut-sebut sedikitnya Rp 100 juta.
Semestinya wartawan yang meliput berita ini tidak boleh berhenti di situ, karena masih banyak pertanyaan yang mengganjal: apa semudah itu orang mencuri kabel di sebuah lokasi yang sangat terbuka dan strategis, dan biasanya sering dilalui patroli polisi sampai larut malam; bagaimana proses pencuriannya; mana bukti bekas kabel yang dicuri; bahkan kapan peristiwa itu terjadi juga tak tercantum di berita tadi; apa betul perbaikannya memerlukan dana Rp 100 juta; apa saja yang diperbaiki; berapa panjang kabel yang diganti; apa jenisnya, berapa harganya, dst. Ataukah jangan-jangan tidak pernah ada kejadian pencurian, dan yang terjadi adalah kerusakan alamiah karena hubungan arus-pendek alias korsluiting, yang membuktikan bahwa proses pembangunannya di tahun 2002 lalu tidak hati-hati dan tak sebanding dengan anggaran yang diberita Tempo disebutkan sebesar Rp 12 milyar itu?
Kompas memberitakan peristiwa yang sama, di hari yang sama di halaman 18 (bisa diakses di sini). Sudah ada keinginan Kompas untuk menelusuri lebih jauh, yakni dengan menanyakan ke warga di sekitar lokasi, yang menyebutkan bahwa pernah ada kejadian dua pekan lalu dimana muncul kepulan asap dari bawah tugu (tempat kabel berada), bahkan terdengar suara letusan. Bukanlah ini menyiratkan ada sesuatu yang salah secara alamiah? Sayangnya Kompas tak mengejar lebih jauh.

Siasat dan Inovasi

Seiring dengan hadirnya awan kelabu yang menggelantung di atas jagad industri suratkabar ini, lahirlah berbagai gerakan untuk melibatkan khalayak pembaca media kian berkembang. Dari sini muncul sejumlah konsep baru, antara lain “citizen journalism” (jurnalisme kerakyatan), dimana semua orang pada hakekatnya bisa dan boleh menjadi jurnalis. Salah satu penganjur gerakan ini adalah Dan Gillmor, wartawan/kolomnis yang menulis untuk suratkabar San Jose Mercury News di AS. Menurut Gilmor, masa depan kegiatan peliputan dan produksi berita akan menjadi lebih sebagai sebuah dialog, atau sebuah seminar. “Garis batas yang memisahkan antara produsen dan konsumen media akan mengabur,” ujarnya, dalam bukunya We the Media: Grassroot Journalism by the People, for the People (2004).
Dilandasi pada keyakinan seperti itu pula maka media secara keseluruhan, dan suratkabar secara khusus, melakukan berbagai eksperimentasi untuk menyiasati tantangan ini. Bagaimana cara mengajak khalayak diajak untuk lebih terlibat dalam sebuah berita? Televisi melakukannya dengan mengajak pemirsa untuk ikut secara langsung dalam diskusi atas sebuah topik yang tengah hangat. BBC London, misalnya, menggagas program Have Your Say, misalnya. Lewat program ini pemirsa diundang untuk terlibat langsung dalam sebuah diskusi atau perdebatan mengenai sebuah topik aktual, yang disiarkan secara langsung. Pilihan topik pun tak jarang diserahkan kepada pemirsa. Versi online program Have Your Say ini mencatumkan tiga cara untuk bisa berhubungan langsung dengan penanggungjawab program: bisa dengan mengirimkan berita (apakah ada pemirsa yang menjadi saksi sebuah perisitiwa? Ataukah ada pemirsa yang punya ide topik liputan berita?); bisa lewat kiriman foto dan rekaman video; bisa pula dengan mengajukan topik yang layak didiskusikan dalam program siaran langsung Have Your Say tersebut. Dalam sebuah konferensi internasional yang berlangsung di Singapura Juni lalu, Ruxandra Obreja dari BBC News London, menyebutkan bahwa program ini mendapatkan sambutan yang sangat positif dari pemirsa.
Suratkabar juga berupaya mencari berbagai siasat, mulai dari mengubah kemasan dan tampilan, mengubah format, melakukan konvergensi (menerbitkannya dalam versi online, dilengkapi pula dengan arsip audio visual yang bisa diakses langsung pada saat yang sama). Akibat lanjut dari perubahan ini adalah gaya penulisan jurnalistik yang berubahnya pula, yaitu menjadi lebih ringkas namun padat. Salah satu suratkabar yang menjadi pelopor inovasi ini adalah The Times yang terbit di London. Sejak tahun 2004, suratkabar ini mengubah formatnya menjadi seukuran tabloid, sekaligus mengakhiri sejarah panjangnya selama lebih dari 200 tahun dalam format broadsheet (lembar lebar). Rupert Murdoch selaku pemilik The Times menyebut format baru tersebut dengan istilah “compact” alias format yang lebih padat. Murdoch dengan bangga menyebutkan bahwa perubahan format dan gaya jurnalistik The Times wajah baru itu sebagai tanggapan nyata terhadap keinginan khalayak pembaca. “Itu bukti bahwa kami tengah berbenah diri, mendengarkan apa yang diinginkan pembaca,” ujar Murdoch.
Versi online The Times juga menunjukkan keinginan untuk merebut kembali para pembaca yang hilang itu. Lihat misalnya penggalan salah satu berita The Times versi online edisi 22 Agustus 2006 berikut ini (bisa diakses di sini), yaitu mengenai tabrakan dua kereta-api di Mesir, yang menewaskan 58 orang.
A passenger train heading towards a railway station in northern Egypt collided with a second train yesterday, killing 58 people and injuring more than 140. Both commuter trains had been heading south from the towns of Mansoura and Benha in the Nile delta when the accident happened outside Qalyoub, 12 miles (20km) north of Cairo. The Mansoura train was travelling at about 50mph (80km/h) before the collision and had apparently failed to obey a stop signal outside the railway station, police sources said. The driver was killed.
Perhatikan beberapa ciri dari berita ini, yang agaknya menjadi standard The Times karena ciri-ciri yang sama juga dijumpai hampir di seluruh berita lainnya. Dari segi kemasan: ada gambar yang sangat mewakili dari peristiwa yang dilaporkan, judul yang tegas dan jelas (kendati dalam kasus ini judulnya lumayan panjang), kepala berita (lead) yang jelas dan langsung pada sasaran, kalimat-kalimat yang ringkas.
Yang menarik untuk diperhatikan dan dicatat adalah pada berita versi online ini tertera sebuah gambar mini kamera video, diserta dengan tulisan: Times Online TV. Mereka yang tengah berada di situs online tersebut bisa mengklik gambar kamera tadi. Dan sudah bisa dibayangkan apa yang terjadi selanjutnya: si pengakses disuguhi rekaman gambar perisitiwa tabrakan kereta api tersebut. Dengan segala kelengkapannya inilah agaknya The Times versi online mendeklarasikan diri sebagai The Newspaper that Speaks.
Tetap harus berhati-hati
Tentu saja kreasi dan inovasi baru semacam ini layak untuk disambut. Namun tetap dengan sikap yang hati-hati, karena jika terlampau menghamba pada perubahan format dan kemasan ini, bukan mustahil malah terperangkap sehingga menghasilkan liputan yang dangkal. Inilah yang juga diingatkan oleh The Economist melalui laporan utama di edisi terbarunya sebagaimana dikutip di pembuka tulisan ini. “Banyak suratkabar yang mencoba menarik pembaca muda dengan mengalihkan variasi pemberitaan mereka sehingga lebih mengarah ke hiburan, gaya hidup dan topik-topik lainnya yang kelihatan lebih relevan untuk kehidupan sehari-hari orang banyak ketimbang menyajikan liputan internasional dan politik.”
The Economist menginginkan agar suratkabar tetap bisa mencurahkan perhatian untuk menjalankan tugas utama jurnalistik: menggali kebenaran, memberdayakan publiK, mengungkap skandal-skandal politik dan perusahaan. Majalah berpengaruh ini bahkan terkesan pesimis bahwa sejumlah inovasi yang lebih mengandalkan pada kemasan tersebut akan bisa membuat suratkabar mempertahankan napas panjang. “Sejauh ini, sejumlah kegiatan baru ini kelihatannya tak juga mungkin untuk menyelamatkan sebagian besar mereka. Andaikan bisa, maka upaya itu akan mengorbankan peran publik dari suratkabar sebagai Pilar Keempat,” ujar laporan The Economist.
Gelombang perubahan dan re-posisi suratkabar ini juga sempat mengimbas hingga ke Indonesia.
Beberapa suratkabar, misalnya, ikut mengalami perubahan format. Dari sejumlah suratkabar yang berubah format ini, Kompas merupakan fenomena yang menarik untuk ditilik lebih jauh. Perubahan format Kompas yang berlaku sejak tanggal 28 Juni 2005 (tepat di ulang tahunnya yang ke-40) sudah dihembus-hembuskan jauh-jauh hari, lewat iklan di suratkabar itu sendiri juga lewat televisi. Pada hari-H, hadirlah format baru itu, dengan sejumlah hal baru di antaranya: ukuran yang lebih kecil, berita di halaman muka yang tidak bersambung ke halaman dalam, dan karena itu halaman muka hanya bisa memuat lebih sedikit berita, banyak berita yang ditulis menggunakan by-line (mencantumkan nama lengkap wartawannya, bukan sekadar singkatan/kode), ada pengantar untuk judul yang ditampilkan dalam huruf berwarna.
Pada hari pertama perubahan format itu rubrik Opini suratkabar tersebut dipenuhi oleh tulisan yang menjelaskan alasan perubahan format tadi, mulai dari Tajuk Rencana (“Mengapa “Kompas” Diredesain”), tulisan Kepala Litbang Kompas, Daniel Dhakidae (“Kompas 2005: Mengapa Berubah?”), pandangan wartawan senior Kompas, Ninok Leksono (“Koran, Renaisans Menuju Masa Depan Berbagi”), hingga ke tulisan dari Mario R. Garcia, “otak” di balik perubah format Kompas, juga sederet suratkabar lainnya di berbagai penjuru dunia (“Desain untuk Pembaca Era Digital” ). Perubahan format ini tentu saja memicu pro dan kontra, dalam diskusi-diskusi maupun dalam tulisan langsung di suratkabar tersebut, salah satunya adalah dari pakar ilmu komunikasi Universitas Indonesia, Dedy N. Hidayat lewat judul tulisan yang memikat, “Kompas” Mencari Kompas.
Namun belakangan kebijakan perubahan format Kompas ini kelihatannya tidak begitu membawa hasil seperti yang diinginkan. Hanya berselang beberapa bulan setelah lahirnya format baru itu, beberapa ketentuan tampak tidak dipatuhi lagi: berita di halaman muka “tidak putus di tempat” alias bersambung ke halaman dalam, by-line juga sudah semakin jarang terlihat, pemaparan yang semula ingin ringkas kembali panjang.. Jika kita memperhatikan Kompas edisi hari ini, maka seperti tak kelihatan lagi perbedaannya dengan format dan gaya penulisan di era sebelum perubahan format, kecuali untuk tulisan di rubrik Tajuk Rencana yang terus dipertahankan untuk ringkas dan padat. Menarik untuk mengulas lebih jauh pergeseran kembali Kompas ini, sehingga bisa diketahui secara jelas apa yang telah menjadi penghambat utama sehingga tak bisa terus mempertahankan format baru secara sepenuhnya. Kuat dugaan, salah satu penyebabnya adalah karena Kompas tidak terus-menerus mencurahkan upaya untuk memperkokoh esensi utama yang melahirkan perubahan format itu, yakni gaya jurnalisme yang juga ringkas, padat, tajam. Kompas kembali hadir dengan gaya jurnalistik yang tidak ringkas, bahkan mulai dari judul. Lihatlah contoh-contoh berikut:
“Tak Ada Restitusi Kedaluwarsa” (ditambah dengan subjudul “Pemerintah Terancam Membayar Bunga Dua Persen per Bulan”, edisi Selasa 22 Agustus 2006). Ada juga “Indofood Ambil Alih ISG Asia” (ditambah dengan sub judul: “Grup Salim Makin Merajai Bisnis Sawit”, atau “Impor Komponen Masih Tinggi” (dengan subjudul “Butuh Komitmen Pemerintah Membangkitkan Industri Padat Karya”). Kedua contoh itu dari edisi Kamis, 24 Agustus 2006. Juga ada judul “Tiga Heli Coba Atasi Kebakaran” (subjudul: Penerbangan di Bandara Sulthan Thaha Jambi Kacau, edisi Minggu 27 Agustus 2006). Kepala berita (lead) juga cenderung tidak ringkas, misalnya saja pada berita di bawah judul “Lee Kuan Yew Nilai Otorita Pulau Batam Mengalami Kemunduran” (Kompas, Jumat 25/8/06), dijumpai kepala berita seperti ini: Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew menilai kawasan otorita Pulau Batam, Kepulauan Riau, yang bakal dijadikan salah satu kawasan ekonomi khusus di Indonesia, sekarang ini justru mengalami kemunduran jika dibandingkan ketika Pemerintah Singapura bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia di masa pemerintahan Soeharto.

Kembali ke akar
 
Tulisan ini ingin menyimpulkan bahwa perubahan memang tengah berlangsung, sebagian besar berisi keprihatinan. Siasat dan inovasi memang mutlak diperlukan. Namun di atas semua itu, nilai jurnalistik yang asasi tetaplah harus menjadi pertimbangan utama. Khalayak pembaca perlu terus menerus diyakinkan bahwa para pengelola suratkabar adalah orang-orang yang layak dipercaya dari segi kredibilitas dan profesionalisme, serta dari integritasnya. Dengan begitu, suratkabar sebagai produk yang mereka hasilkan juga akan beroleh kepercayaan yang sama. Jurnalisme baru dalam pandangan saya justru adalah “jurnalisme lama”, jurnalisme yang merujuk kembali ke akarnya: sebuah tugas mulia yang memburu kebenaran lalu menyajikannya kembali kepada khalayak dengan niat yang lurus agar khalayak lebih tercerahkan dan terberdayakan. Untuk mencapai tujuan mulia itu seluruh standard dan nilai jurnalistik yang selama ini sudah dikenal, perlu terus diperkokoh: wartawan dan editor harus tak henti mengedepankan rasa ingin tahu yang dilandasi pada skeptisisme, tak bosan melakukan verifikasi, tak malas dan tak lekas berpuas diri, tak surut mempertahankan nilai-nilai dasar etika jurnalistik (keakuratan, keberimbangan, kejujuran dan keadilan), sembari terus mengasah keterampilan dalam mengumpulkan bahan, ketajaman analisis, kemahiran menulis.
Jika semua hal di atas telah dilakukan dengan sepenuh upaya, masih ada harapan untuk melihat suratkabar tetap tegak sebagai salah satu tonggak dalam memperjuangkan kebenaran.

Kamis, 11 Agustus 2011

3 TIPE MANUSIA DALAM MERAIH KESUKSESAN

Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa ada sebagian orang yang dapat meraih kesuksesan yang diidam-idamkan banyak orang, dan di sisi lain lebih banyak orang yang tidak berhasil meraihnya.
Saat ini begitu banyak diadakan pelatihan-pelatihan atau seminar-seminar luar biasa yang mampu mengubah diri Anda menjadi yang terbaik untuk meraih apapun yang Anda inginkan. Anda mempunyai peluang yang cukup besar untuk menjalani hidup yang dinikmati oleh orang-orang yang telah sukses. Tetapi kenyataannya, hanya sedikit sekali kategori orang yang sukses. Malah sebaliknya, lebih dari 90% orang yang hidup biasa-biasa saja atau di bawah rata-rata.
Tanyalah orang-orang yang ada di sekeliling Anda apakah mereka ingin meraih kesuksesan. Pertanyaan ini mungkin kedengarannya bodoh. Saya yakin semuanya pasti menjawab ‘YA’ dengan meyakinkan. Tapi lihatlah kenyataan sebenarnya, lebih banyak orang yang tidak sukses daripada yang sukses.
Adakah yang salah dengan ini semua. Ya, memang ada yang salah dengan ini semua. Permasalahannya terletak pada diri Anda sendiri. Berguna tidaknya ilmu yang Anda pelajari dari buku-buku ataupun seminar-seminar tergantung diri Anda sendiri. Dengan kata lain, Andalah yang menciptakan kesuksesan sekaligus kegagalan Anda.
Dalam usaha meraih kesuksesan, sikap seseorang dapat terbagi 3 tipe. Tipe pertama adalah orang yang bersikap “saya mau sukses”. Orang dengan tipe seperti ini sulit untuk meraih sukses karena semua orang juga pasti mau sukses. Mereka hanya mau saja, atau hanya sekadar ingin, tetapi mereka tidak ingin membayar harga yang pantas untuk itu. Mereka sebenarnya tidak benar-benar mau. Orang-orang yang memiliki sikap mental yang lemah seperti ini hanya akan menjadi seorang pemimpi belaka tanpa pernah berusaha sedikitpun untuk mewujudkannya. Mereka hanya bersikap pasif dan reaktif, hanya menunggu setiap kesempatan baik datang, bukannya bersikap aktif mencari dan menciptakan peluang itu sendiri.
Tipe yang ke dua adalah orang yang bersikap “saya memilih untuk sukses”. Orang-orang yang memiliki sikap mental seperti ini jauh lebih bisa diandalkan daripada orang yang hanya mau sukses. Mereka membuat suatu keputusan yang kuat untuk meraih sukses. Karena mereka memilih untuk sukses, maka mereka tidak mau memilih apapun yang dapat menghalangi mereka dalam meraihnya. Mereka bertanggung jawab sepenuhnya atas kesuksesan mereka sendiri.
Tipe terakhir yang mampu membuat siapapun, termasuk Anda, meraih sukses adalah “saya berkomitmen untuk menjadi sukses”. Orang-orang yang bertipe seperti ini berarti mereka tidak akan pernah menyerah apalagi mundur sebelum kesuksesan berhasil mereka raih. Mereka berkomitmen penuh 100% untuk melakukan apapun untuk meraih apa yang paling mereka impikan. Mereka tidak pernah memiliki alasan untuk berhenti dan menyerah tidak pernah ada dalam kamus hidup mereka. Mereka membakar jalan di belakang mereka sehingga tidak ada jalan lain lagi selain maju. Mereka rela mengorbankan waktu, tenaga, uang maupun pikiran mereka untuk membayar harga sebuah kesuksesan. Mereka layaknya sebuah kereta api yang meluncur dengan kecepatan penuh sehingga tidak ada apa pun atau siapa pun yang sanggup menahan dan menghentikan mereka. Komitmen membuat mereka menjadi tak terbendung.
Ini yang membedakan antara orang yang sukses dengan yang gagal. Orang yang memiliki komitmen yang kuat bukan hanya mau sukses, tetapi juga mereka benar-benar mau sukses. Mereka berani menyatakan bahwa mereka akan meraih kesuksesan yang mereka impikan.
Sekarang tanyakan diri Anda, apakah Anda mau sukses atau benar-benar berkomitmen untuk sukses? Setiap orang ingin sukses, tetapi hanya sedikit sekali yang berusaha mewujudkannya. Semua tergantung Anda sendiri. Jika Anda telah mempelajari semua resep sukses, tetapi Anda tidak pernah berkomitmen kepada diri Anda sendiri, kemungkinan besar Anda tidak akan pernah meraih kesuksesan.
Perjalanan meraih kesuksesan penuh dengan jalan yang rusak, berlubang, berkerikil tajam, batuan besar serta jurang yang akan dengan mudah menghentikan Anda jika Anda tidak pernah mau berkomitmen. Hanya dengan komitmenlah Anda akan terus maju melewati rintangan demi rintangan untuk sampai ke tempat tujuan yang telah Anda impikan selama ini.

MENGENAL ORGANISASI PERS

Lembaga atau perusahaan pers, sebagaimana lembaga atau perusahaan pada umumnya, memiliki organisasi yang terdiri dari berbagai macam jabatan. Jabatan-jabatan tersebut disusun berdasarkan fungsi-fungsinya. Dan masing-masing jabatan memiliki tugasnya masing-masing. Berikut ini bagan organisasi tersebut.
1. Dewan Redaksi
Dewan Redaksi biasanya beranggotakan Pemimpin Umum, Pemimpin Redaksi dan Wakilnya, Redaktur Pelaksana, dan orang-orang yang dipandang kompeten menjadi penasihat bagian redaksi. Dewan Redaksi bertugas memberi masukan kepada jajaran redaksi dalam melaksanakan pekerjaan redaksional. Dewan Redaksi pula yang mengatasi permasalahan penting redaksional, misalnya menyangkut berita yang sangat sensitif atau sesuai-tidaknya berita yang dibuat tersebut dengan visi dan misi penerbitan yang sudah disepakati.

2. Pemimpin Umum
Bertanggung jawab atas keseluruhan jalannya penerbitan pers, baik ke dalam maupun ke luar. Dapat melimpahkan pertanggungjawabannya terhadap hukum kepada Pemimpin Redaksi sepanjang menyangkut isi penerbitan (redaksional) dan kepada Pemimpin Usaha sepanjang menyangkut pengusahaan penerbitan.

3. Pemimpin Redaksi
Pemimpin Redaksi (Pemred, Editor in Chief) bertanggung jawab terhadap mekanisme dan aktivitas kerja keredaksian sehari-hari. Ia harus mengawasi isi seluruh rubrik media massa yang dipimpinnya. Di surat kabar mana pun, Pemimpin Redaksi menetapkan kebijakan dan mengawasi seluruh kegiatan redaksional. Ia bertindak sebagai jenderal atau komandan.
Pemimpin Redaksi juga bertanggung jawab atas penulisan dan isi Tajuk Rencana (Editorial) yang merupakan opini redaksi (Desk Opinion). Jika Pemred berhalangan menulisnya, lazim pula tajuk dibuat oleh Redaktur Pelaksana, salah seorang anggota Dewan Redaksi, salah seorang Redaktur, bahkan seorang Reporter atau siapa pun — dengan seizin dan sepengetahuan Pemimpin Redaksi— yang mampu menulisnya dengan menyuarakan pendapat korannya mengenai suatu masalah aktual.
Berikut ini tugas Pemimpin Redaksi secara lebih terinci:
  1. Bertanggungjawab terhadap isi redaksi penerbitan
  2. Bertanggungjawab terhadap kualitas produk penerbitan
  3. Memimpin rapat redaksi
  4. Memberikan arahan kepada semua tim redaksi tentang berita yang akan dimuat pada setiap edisi.
  5. Menentukan layak tidaknya suatu berita, foto, dan desain untuk sebuah penerbitan
  6. Mengadakan koordinasi dengan bagian lain seperti Pemimpin Perusahaan  untuk mensinergikan jalannya roda perusahaan
  7. Menjalin lobi-lobi dengan nara sumber penting di pemerintahan, dunia usaha, dan berbagai instansi
  8. Bertanggung jawab terhadap pihak lain, yang karena merasa dirugikan atas pemberitaan yang telah dimuat, sehingga pihak lain melakukan somasi, tuntutan hukum, atau menggugat ke pengadilan. Sesuai aturan, tanggung jawab oleh Pemimpin Redaksi bila dilimpahkan kepada pihak lain yang dianggap melakukan kesalahan tersebut.
4. Sekretaris Redaksi
Seorang Sekretaris Redaksi memiliki tugas sebagai berikut:
  1. Menata dan mengatur undangan dari instansi, perusahaan, atau lembaga yang berkaitan dengan pemberitaan
  2. Menghubungi sumber berita atau instansi untuk pendaftaran, konfirmasi, atau pembatalan undangan, wawancara, dan kunjungan kerja
  3. Menyimpan salinan kartu pers dan foto untuk mensuport kebutuhan kerja para wartawan dalam  meliput satu acara yang mengharuskan membuat tanda pengenal seperti menyiapkan
  4. Menyediakan peralatan kerja redaksi seperti tape, batu baterei, kaset, alat tulis, dan note book
  5. Menata keperluan keuangan redaksi: uang perjalanan, uang saku, uang rapat.
  6. Mengatur jadwal rapat redaksi: rapat perencanaan, rapat cheking, rapat final.
5. Redaktur Pelaksana
Di bawah Pemred biasanya ada Redaktur Pelaksana (Redaktur Eksekutif, Managing Editor). Tanggung jawabnya hampir sama dengan Pemred, namun lebih bersifat teknis. Dialah yang memimpin langsung aktivitas peliputan dan pembuatan berita oleh para reporter dan editor.
Adapun rincian tugas Redaktur Pelaksana adalah sebagai berikut:
  1. Bertanggung jawab terhadap mekanisme kerja redaksi sehari-hari
  2. Memimpin rapat perencanaan, rapat cecking, dan rapat terakhir sidang redaksi
  3. Membuat perencanaan isi untuk setiap penerbitan
  4. Bertanggung jawab terhadap isi redaksi penerbitan dan foto
  5. Mengkoordinasi kerja para redaktur atau penanggungjawab rubrik/desk
  6. Mengkoordinasikan alur perjalanan naskah dari para redaktur ke bagian setting atau lay out.
  7. Mengkoordinator alur perjalanan naskah dari bagian setting atau lay out ke percetakan
  8. Mewakili Pemred dalam berbagai acara baik ditugaskan atau acara mendadak
  9. Mengembangkan, membina, menjalin lobi dengan sumber-sumber berita
  10. Mengedit naskah, data, judul, foto para redaktur
  11. Mengarahkan dan mensuvervisi kerja para redaktur dan reporter
  12. Memberikan penilaian secara kualitatif dan kuantitatif kepada redaktur secara periodik.
6. Redaktur
Redaktur (editor) sebuah penerbitan pers biasanya lebih dari satu. Tugas utamanya adalah melakukan editing atau penyuntingan, yakni aktivitas penyeleksian dan perbaikan naskah yang akan dimuat atau disiarkan. Di internal redaksi, mereka disebut Redaktur Desk (Desk Editor), Redaktur Bidang, atau Redaktur Halaman karena bertanggung jawab penuh atas isi rubrik tertentu dan editingnya. Seorang redaktur biasanya menangani satu rubrik, misalnya rubrik ekonomi, luar negeri, olahraga, dsb. Karena itu ia dikenal pula dengan sebutan “Jabrik” atau Penanggung Jawab Rubrik.
Berikut ini tugas seorang redaktur secara lebih terinci:
  1. Mengusulkan dan menulis suatu berita dan foto yang akan dimuat untuk edisi mendatang
  2. Berkoordinasi dengan fotografer dan riset foto dalam pengadaan foto untuk  setiap penerbitan
  3. Membuat lembar penugasan atau Term Of Reference (TOR) kepada para reporter dan fotografer
  4. Mengarahkan dan membina reporter dalam mencari berita dan mengejar sumber berita
  5. Memberikan penilaian kepada reporter baik penilaian kualitatif maupun kuantitatif.
  6. Memberikan laporan perkembangan kepada atasannya yaitu Redaktur Pelaksana
7. Koordinator Liputan
Koordinator Liputan memiliki tugas sebagai berikut:
  1. Memantau dan mengagendakan jadwal berbagai acara: seminar, press conference, acara DPR dll
  2. Membuat mekanisme kerja komunikasi antara redaktur dan reporter
  3. Memberikan lembar penugasan kepada reporter/wartawan dan fotografer
  4. Mengadministrasikan tugas-tugas yang diberikan kepada setiap reporter
  5. Memantau tugas-tugas harian para wartawan/reporter
  6. Melakukan komunikasi setiap saat  kepada para redaktur, reporter/wartawan, dan fotografer
  7. Memberikan penilaian kepada reporter/wartawan secara kuantitas maupun kualitas
8. Reporter
Di bawah para editor adalah para reporter. Mereka merupakan “prajurit” di bagian redaksi. Mencari berita lalu membuat atau menyusunnya, merupakan tugas pokoknya.
Ini adalah jabatan terendah pada bagian redaksi. Tugasnya adalah melakukan reportase (wawancara dan sebagainya ke lapangan). Karena itu, merekalah yang biasanya terjun langsung ke lapangan, menemui nara sumber, dan sebagainya.
Tugas seorang reporter secara lebih terinci adalah sebagai berikut:
  1. Mencari dan mewawancarai  sumber berita yang ditugaskan redaktur atau atasan
  2. Menulis hasil wawancara, investasi, laporan kepada redaktur atau atasannya
  3. Memberikan usulan berita kepada redaktur atau atasannya terhadap suatu informasi yang dianggap penting untuk diterbitkan
  4. Membina dan menjalin lobi dengan sumber-sumber penting di berbagai instansi
  5. Menghadiri acara press conferensi yang ditunjuk redaktur, atasannya, atau atas inisiatif sendiri.
9. Redaktur Bahasa / Korektor Naskah
Seorang Redaktur Bahasa / Korektor Naskah memiliki tugas sebagai berikut:
  1. Memeriksa,mengedit, dan menyempurnakan naskah sesuai dengan penulisan bahasa Indonesia yang baik dan benar
  2. Menyesuaikan naskah yang sudah diedit dalam bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Jurnalistik
  3. Mengubah pengulangan kata-kata  yang sama dalam satu tulisan, sehingga kalimat dalam naskah menjadi bervariasi.
  4. Mengedit penggunaan logika bahasa, alur naskah
  5. Menyeragamkan style penulisan masing-masing redaktur, sehingga gaya penulisan seluruh naskah menjadi  sama
  6. Memeriksa naskah kata per  kata, penggunaan titik, koma, tanda seru,  titik dua.
  7. Mengedit penggunaan kata yang berasal dari bahasa asing,  bahasa daerah, bahasa slank sehingga mudah dimengerti pembaca.
10. Fotografer
Fotografer (wartawan foto atau juru potret) tugasnya mengambil gambar peristiwa atau objek tertentu yang bernilai berita atau untuk melengkapi tulisan berita yang dibuat wartawan tulis. Ia merupakan mitra kerja yang setaraf dengan wartawan tulisa (reporter).
Jika tugas wartawan tulis menghasilkan karya jurnalistik berupa tulisan berita, opini, atau feature, maka fotografer menghasilkan Foto Jurnalistik (Journalistic Photography, Photographic Communications). Fotografer menyampaikan informasi atau pesan melalui gambar yang ia potret. Fungsi foto jurnalistik antara lain menginformasikan (to inform), meyakinkan (to persuade), dan menghibur (to entertain).
Adapun tugas seorang fotografer secara lebih terinci adalah sebagai berikut:
  1. Menjalankan tugas pemotretan yang diberikan redaktur atau atasannya
  2. Melakukan pemotretan sumber berita, suasana acara, aktivitas suatu objek, lokasi kejadian, gedung, dan benda-benda lain
  3. Mengusulkan konsep desain untuk cover majalah
  4. Menyediakan foto-foto untuk mendukung naskah, artikel, dan berita
  5. Mengarsip foto-foto, filem negatif, atau compact disk bagi kamera digital
  6. Melaporkan setiap kegiatan pemotretan kepada atasan
  7. Mempertanggungjawabkan setiap penggunaan filem negatif, baterai, atau compact disk  yang telah digunakan kepada perusahaan
11. Koresponden
Selain reporter, media massa biasanya juga memiliki Koresponden (correspondent) atau wartawan daerah, yaitu wartawan yang ditempatkan di negara lain atau di kota lain (daerah), di luar wilayah di mana media massanya berpusat.

12. Kontributor
Kontributur atau penyumbang naskah/tulisan secara struktural tidak tercantum dalam struktur organisasi redaksi. Ia terlibat di bagian redaksi secara fungsional. Termasuk kontributor adalah para penulis artikel, kolomnis, dan karikaturis. Para sastrawan juga menjadi kontributor ketika mereka mengirimkan karya sastranya (puisi, cerpen, esai) ke sebuah media massa.
Wartawan Lepas (Freelance Journalist) juga termasuk kontributor. Wartawan Lepas adalah wartawan yang tidak terikat pada media massa tertentu, sehingga bebas mengirimkan berita untuk dimuat di media mana saja, dan menerima honorarium atas tulisannya yang dimuat.
Termasuk kontributor adalah Wartawan Pembantu (Stringer). Ia bekerja untuk sebuah perusahaan pers, namun tidak menjadi karyawan tetap perusahaan tersebut. Ia menerima honorarium atas tulisan yang dikirim atau dimuat.

13. Riset, Pustaka,  dan Dokumentasi
Bagian Riset, Pustaka, dan Dokumentasi memiliki tugas sebagai berikut:
  1. Mencari data-data, artikel, tulisan yang dibutuhkan untuk sebuah penulisan oleh reporter, redaktur, redaktur pelaksana, dan Pemimpin Perusahaan.
  2. Mencari dan menata buku-buku yang berkaitan dengan tugas dan kerja para wartawan
  3. Menata majalah, surat kabar, dan tabloid setiap hari dan menyimpannya dengan baik sesuai aturan
  4. Melakukan kerja sama dengan bagian riset dan dokumentasi perusahaan lainnya seperti barter majalah, koran, tabloid, dan buku.
  5. Mengusulkan suatu berita kepada redaksi bila dalam melaksanaan tugas menemukan data-data atau informasi penting
14. Artistik
Bagian Artistik memiliki tugas sebagai berikut:
  1. Merancang cover atau kulit muka
  2. Membuat dummy atau nomor contoh sebelum produk di cetak dan dijual ke pasa
  3. Mendesain dan melay out setiap halaman dengan naskah, foto, dan angka-angka
  4. Mengatur peruntukan halaman untuk naskah
  5. Menulis judul berita,anak judul,  caption foto, nama penulis pada setiap naskah
  6. Menulis nomor halaman, nama rubrik/desk, nomor volume terbit, hari terbit, dan tanggal terbit pada setiap edisi
15. Pracetak
Bagian Pracetak memiliki tugas sebagai berikut:
  1. Membawa naskah yang sudah disetujui pemimpin redaksi ke percetakan untuk dicetak
  2. Mengawasi proses pencetakan di percetakan
  3. Menerima kondisi produk dalam keadaan baik dari percetakan
  4. Bersama dengan bagian distribusi, segera mengedarkan produk tersebut ke pasar
16. Pemimpin Usaha
Pemimpin Usaha berada dibawah Pemimpin Umum, sejajar dengan Pemimpiin Redaksi. Kalau Pemimpin Redaksi hanya berurusan dengan masalah keredaksian, maka Pemimpin Usaha khusus berurusan dengan masalah komersial.
Pemimpin  Usaha bertugas menyebarluaskan media massa, yakni melakukan pemasaran (marketing) atau penjualan (selling) media massa. Pemimpin Usaha ini membawahi Manajer Keuangan, Manajer Pemasaran, Manajer Sirkulasi / Distribusi, dan Manajer HRD (Human Resource Development).

Minggu, 07 Agustus 2011

LANGKAH - LANGKAH DALAM MENCARI MEDIA PARTNER DAN SPONSORSHIP

Yang harus kalian ketahui dalam sebuah acara divisi sponsorship & media
partnership merupakan bagian yang penting dalam jalannya sebuah acara.
Sponsorship merupakan salah satu unsur penting dalam pendanaan acara yaitu
bisa sebagai sumber pemasukan terbesar sebuah acara, sedangkan media partner
merupakan unsur penting dalam publikasian sebuah acara. Tentunya dua divisi ini
merupakan divisi yang selalu berhubungan dengan dunia luar, sukses atau
tidaknya suatu acara bisa tergantung dari dua divisi ini. Selain itu 2 divisi ini saling
terkait satu sama lain. Berikut merupakan langkah-langkahnya:

1) Bermimpi
Menurut saya langkah awal yang harus dijalani adalah bermimpi, karena mimpi
merupakan motivasi awal kita dalam memulai sebuah pekerjaan. “hidup berawal
dari mimpi” merupakan kalimat bijak yang dapat memotivasi kita. Beban yang
akan kita jalani kedepannya akan berat, dengan bermimpi kita akan mempunyai
target yang akan kita capai nantinya. Sebagai contoh, acara yang kita jalani adalah
seminar, jikalau acara yang kita jalani adalah event seminar tahunan yang sudah
mempunyai nama /sukses pastinya tidak begitu sulit untuk mencari media partner
& sponsorship apalagi dari institusi yang ternama. Tetapi apabila acara yang akan
dimuat adalah acara baru yang pertama kali dibuat dan kita berasal dari institusi
yang baru pula dan belum mempunyai nama. Tentunya itu akan menjadi tugas
berat. Maka mimpi yang harus ditekan kan adalah mimpi untuk mensukseskan
acara ini dengan kapasitas yang kita punya. Pikirkan dalam otak kalian mimpi yang
setinggi tingginya, bahwa kita bisa untuk mencapai kesepakatan dengan media
partner maupun sponsor yang sebanyak banyaknya bahkan bisa mengalahkan
acara yang dibuat oleh institusi yang lebih besar. Dengan mimpi itu secara tidak
langsung akan memotivasi diri kita dalam bekerja.

2) Cari Nama-Nama Sponsor & Media Yang Sesuai Dengan Acara Yang Akan Dibuat
Dalam langkah ini merupakan tahap pencarian nama-nama sponsor maupun
media partner yang sesuai dengan acara yang akan kita buat. Kita harus
mengetahui target pasar dari acara ini maupun jenis acara yang akan kita buat.
Contoh kita akan membuat acara olahraga sponsor yang cocok adalah minuman
berenergi, produsen alat-alat olahraga, bank dll, lalu media partnernya adalah
majalah olahraga, Koran olahraga, radio, televise dll. Jika kita membuat seminar
kewirausahaan sponsor yang cocok adalah bank, produsen alat-alat tulis & kantor,
produsen makanan ringan, minuman ringan dll, lalu media partnernya adalah
majalah bisnis, radio bisnis, radio, televisi dll. Buat daftar sponsor dan media
partner yang sebanyak banyaknya, jika perlu cari referensi dari poster-poster acara
sejenis yang telah dilaksanakan bahkan telah mempunyai nama, sponsor & media
partner apa saja yang telah mensuport acara mereka, biasanya sponsor / media
partner tersebut merupakan perusahaan ataupun institusi yang memang rajin
mensupport acara-acara seperti itu. Lebih disarankan untuk mencari sponsor &
media yang didalamnya terdapat link/kekerabatan yang dekat dengan panitia
acara ataupun institusi dari kepanitiaan itu sendiri, karena setidaknya proposal pengajuan kita menjadi prioritas utama untuk dibaca ataupun diterima jika
dibandingkan dengan proposal acara lainnya. Perlu diingat jika proposal yang
masuk ke sebuah perusahaan ataupun media tidak hanya proposal acara kita saja
kemungkinan banyak proposal acara lain ikut masuk juga besar. Contoh: paman
dari si A yang merupakan wakil ketua panitia merupakan direktur Garuda Indonesia.

3) Pastikan Alamat Sponsor & Media Partner Dan Contact Person Yang Bisa Dihubungi
Dalam tahapan ini adalah mencari alamat-alamat dari sponsor & media yang telah
kita kita buat daftarnya. Daftar yang telah kita buat pastikan dengan rapih dan
tidak tercecer, alamat dan contact person bisa dicari melalui banyak cara, bisa
melalui internet, koneksi teman/kerabat dll, bila media bisa dilihat di media
terbitannya apabila media cetak, biasanya media mencantumkan alamat redaksi,
jajaran redaksi, maupun alamat dan nomer telephone nya. Untuk media biasanya
contact person yang bisa dihubungin untuk media partnership adalah bagian
promosi. Disarankan alamat & contact person dari media & sponsor yang didapat
dari koneksi/kekerabatan dijadikan prioritas utama Karena setidaknya kesempatan
untuk diterima lebih besar.

4) Buat Proposal Dengan Baik Dan Semenarik Mungkin, Dengan Mencantumkan Kontraprestasi Dan Kompensasi Yang Jelas, Rinci, Dan Lengkap
Proposal yang baik dan semenarik mungkin tentunya akan lebih membuat pihak
sponsor yang menerima proposal kita akan lebih semangat dalam membaca
membaca proposal kita dibandingkan dengan proposal standar, ingat proposal
yang masuk ke sponsor & media, mungkin saja tidak hanya proposal acara kita,
jadi buatlah proposal yang se kreatif mungkin. Proposal yang baik dan menarik bisa
diartikan sebagai bentuk proposal yang didesain semenarik dan seunik mungkin
dan didalamnya tetap terdapat point-point penting acara yang akan kita buat.
Didalam proposal tersebut terdapat rincian acara yang akan kita buat, khusus
untuk media partner & sponsorship, kita harus lah mencantumkan rincian
anggaran yang akan kita keluarkan, dan juga kontraprestasi dan kompensasi yang
jelas dan sangat rinci. Karena hal yang paling dicari oleh sponsor & media partner
adalah keuntungan yang bisa diperoleh jika mereka berpartisipasi dalam acara kita
apakah sebanding dengan yang akan mereka keluarkan. Contoh: untuk sponsor
biasanya terdapat paket-paket sponsorship, berapa yang harus mereka keluarkan,
dan apa yang mereka dapatkan haruslah tercantum, jika mereka memilih memberi
uang dengan nominal Rp. 20.000.000 ,00, mereka akan mendapatkan booth/ stand
di acara, adlips dari mc selama acara, logo mereka di publikasi acara dll.

5) Sebar proposal yang telah dibuat ke perusahaan dan media yang telah
kita buat daftarnya
Setiap perusahaan pasti mempunyai budaya perusahan yang berbeda, ada
perusahaan yang masih mengunakan media fax maupun media e.mail dalam
mengirim/dikirim surat-surat penting. Jika kita sudah mendapat jawaban untuk
mengirimkan proposal kita kepada perusahaan tujuan kita, sebaiknya Tanya
dahulu mereka meminta kita mengirimkan proposal dengan acara apa, misalkan
melalui e.mail, faximile ataupun langsung diantarkan kekantornya. Itu semua harus
kita lakukan sesuai dengan permintaan perusahaan. Tapi alangkah baiknya jika
kita mengantarkan proposal langsung kepada perusahaan yang dituju dan juga
bagian yang dituju seperti bagian promosi. Buatlah kesan pertama yang baik dan
sopan karena kesan pertama begitu penting dalam suatu hubungan bisnis dan
relasi.

6) Follow Up terus proposal yang telah masuk ke perusahaan / media tersebut
Banyak cara untuk memfollow up proposal yang telah kita ajukan kepada
perusahaan ataupun media – media tadi, baik itu melalui media telvon maupun
e.mail. Tentunya disini kita harus memperhatikan faktor kesopanan, jika kita ingin
menelvon perusahaan tersebut ataupun menelvon orang yang seharusnya kita
hubungi dalam memproses proposal itu, lihat dulu waktunya, apakah akan
menganggu atau pada saat jam istirahat & makan siang. Jadi upayakan
mementingkan factor kesopanan dan juga jangan lelah untuk berusaha
memfollowup karena kita yang lebih butuh mereka, bukan mereka yang butuh kita.
Jika orang itu ditidak ada ditempat coba lagi dan coba lagi, sampai ada
kejelasannya apakah proposal itu ditolak, diterima, ataupun mereka kurang
mengerti dan meminta kita untuk presentasi didepan mereka untuk memperjelas
acara kita.

7) Jika diminta presentasikan acara kita dengan sebaik mungkin
Biasanya jika perusahaan tidak jelas akan proposal yang kita berikan dan mereka
tertarik untuk berpatisipasi dalam acara kita maka mereka akan memanggil kita
untuk mempresentasikan acara yang akan kita buat secara terperinci. Buat
presentasi yang sebaik mungkin untuk meyakinkan mereka bahwa mereka setuju
dan tertantang untuk mesponsori ataupun mensuppot acara kita melalui medianya.
Jelaskan acara yang akan kita buat secara baik dan benar. Tapi biasanya
perusahaan akan meminta kita presentasi lebih kepada sponsorhip, karena mereka
akan mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk mensponsori acara kita.

8) Setelah mendapat jawaban dari perusahaan / media pertimbangkan permintaan dan pemberian perusahaan apakah sesuai dengan acara kita & jangan sampai mengacaukan konsep acara
Setelah mendapat jawaban dari pihak sponsor & media partner pertimbangkan
kembali point – point yang diberi oleh pihak sponsor & media partner, diskusikan dengan tim dan juga ketua panitia, disini peran ketua panitia harus memutuskan
secepat mungkin, karena biasanya sponsor & media partner tidak akan menunggu
lama jawaban dari kita.

Apabila ada point yang tidak dapat kita kabulkan atau setujui, misalkan, di point
tersebut tertulis sponsor & media partner meminta menaruh x banner sebanyak 3
buah dan spanduk 3 buah pada saat acara, jika tempat yang akan kita pakai untuk
mengadakan acara terbatas maka diskusikan lagi kepada pihak sponsor & media
partner bahwa tempat acara kita terbatas, maka kita hanya bisa member tempat 1
x-banner dan juga 1 spanduk, negosiasikan hal ini sampai kedua belah pihak
merasa adil dan puas, ingat sponsor itu menginvestasikan uang ataupun jasa
publikasikannya kepada kita, dan kita harus membalas sesuai dengan kemampuan
kita. Intinya jika ada point yang tidak bisa kita kabulkan segera negoisasikan dan
ganti point yang tidak sesuai tadi dengan yang sesuai dengan kesepakatan kita.
Jangan sampai kita telah menyetujui kontrak itu lalu kita mendadak member tahu
pihak sponsor & media partner bahwa kita tidak dapat melaksanakan itu,
kepercayaan sponsor & media partner akan luntur jika hal itu terjadi.
Berikut adalah Tips & Trik memilah sponsor yang sudah memberi jawaban:

A) Sponsor adalah perusahaan yang ingin mempromosikan produknya lewat
event yang kita buat. Biasanya mereka memberikan nominal tertentu sebagai
imbalan promosi yang kita lakukan. Pada saat sponsor telah memberikan dana
sponsorship, sebaiknya kalkulasi ulang dana event yang akan kita buat.
Seimbangkan dengan kompensasi yang dimintanya. Sebagai contoh kita akan
membuat event dengan budget 10 juta, dan dana yang diberikan sponsor adalah 3
juta. Berarti posisikan sponsor itu sebagai sponsor pendukung dan berikan
kompensasi yang sesuai dengan penawaran yang kita berikan. Jangan terlalu
banyak branding yang menguntungkan mereka.

B) Bila kita menerima tawaran dari satu sponsor, jangan berkecil hati dan berpikir
event yang akan kita adakan akan gagal dan mengalami deficit. Berikan penjelasan
pada sponsor tersebut bahwa kalian hanya menerima satu sponsor yang berarti
perusahaan tersebut akan menjadi sponsor tunggal atau sponsor utama. Adakan
lobi dengan mereka mengenai nominal dana yang akan diberikan dan diiringi
dengan kompensasi yang setimpal.

C) Untuk Media partner usahakan kita tidak mengeluarkan uang sepeserpun dalam
hal beriklan di media tersebut yang kita jual adalah sistem barter. Mereka
memberikan kompensasi berupa iklan di medianya ( cetak maupun elektronik ) dan
kita memberikan logo – logo mereka terdapat disemua atribut publikasi acara (
spanduk, backdrop, banner, t shirt panita dll ), lalu biasanya mereka akan meminta stand untuk mereka, pertimbangkan dulu hal itu pikirkan luas tempat
acara dsb jika mereka member iklan dengan nominal yang mahal haruslah menjadi
pertimbangan utama untuk mendapatkan stand. Lalu mereka biasanya akan
member majalah/ Koran lama ( back issue ) sebaiknya terima saja untuk
dibagi-bagikan kepada peserta, itu juga merupakan salah satu bentuk promosi
majalah/koran kepada peserta acara. Lalu mintalah merchandise perusahaan
media tersebut bisa untuk dibagikan kepada peserta berupa doorprize dan bisa
juga untuk panitia. Sekali lagi usahakan untuk media partner jangan sampai
membayar sepeserpun, dan juga kita jangan terpaku hanya pada satu media
dalam bernegoisasi.

D) Apabila sponsor meminta sharing produk yang disertakan dengan tiket yang
dijual pada audiensi, pertimbangkan harga produk, kompensasi dengan harga tiket
setelah ditambah sharing produk sponsor tadi. Harga tiket yang terlampau tinggi
karena adanya sharing produk juga menentukan banyak sedikitnya audiensi yang
akan datang ke acara kita.

E) Mintalah sponsor memberikan minimal 50% dana event pada saat
penandatanganan MOU dan sisanya dibayarkan maksimal 1 minggu setelah event
yang diselenggarakan. Ada baikknya jika kita meminta 75% dana sebelum hari H
untuk menghindari kelebihan pengeluaran dana panitia kita untuk menutupi
pengeluaran pada hari H.

F) Pertimbangkan juga tenggat waktu pembayaran sponsor. Rata-rata sponsor
memberikan 50% dana sebelum hari H dalam 1-2 termin pembayaran. Sebenarnya
system seperti ini tidak menjadi masalah selama 50% dari uang muka tadi sudah
bisa menutup minimum 75% budget produksi,sisanya bisa didapat dari ticketing (
bila acara bertiket ), sedangkan untuk acara non-ticketing, pastikan 50% uang
muka tadi bisa menutupi keseluruhan budget produksi atau kalian harus
menyediakan dana untuk berjaga-jaga menutup budget produksi yang harus
dibayar di hari H.

G) Jangan terlalu cepat memilih sponsor karena tergiur nominal uang yang besar.
Perhitungkan lebih lanjut kompensasi yang harus diberikan kepada sponsor
tersebut. Rata – rata sponsor meminta sharing tiket sesuai target yang telah
disepakati sebelumnya. Pastika kita tidak terlalu ditekan oleh sponsor. Masih
banyak cara lain untuk membuat event kita berjalan sukses.

H) Bacalah secara teliti kontrak kerja anda dengan sponsor, jangan sampai ada
hal-hal yang kiranya dapat merugikan di kemudian hari. Pernah ditemui di sebuah
event dimana sponsor meminta stand dengan fasilitas listrik plus penerangan,
namun karena koordinasi yang kurang, stand tersebut tidak dilengkapi listrik dan
alhasil sponsor tersebut menuntut panitia dan urung memberikan dana yang sudah
dijanjikan sebelumnya.

I) Setelah event selesai, kembalikanlah semua property pinjaman sponsor. Jangan
lupa sertakan juga dokumen event kalian, sehingga tercipta kesan baik dimata
sponsor dan terbuka kesempatan untuk bekerja sama lagi dikemudian hari.

9) Tanda tangan MOU dengan pihak sponsor / media
Jika semua point – point yang ada didalam M.O.U semuanya telah tercapai
kesepakatan maka dapat disimpulkan kedua belah pihak telah menyetujui M.O.U
tersebut dan dapat segera ditanda tangani oleh kedua belah pihak tentunya.
Sebaiknya dari pihak panitia untuk menandatangani M.O.U ini adalah panitia yang
mempunyai jabatan penting seperti ketua panitia maupun coordinator dana usaha
maupun media partner. Yang pasti sang penandatangan harus bertanggung jawab
terhadapa perjanjian tersebut. Selain itu tanda tangan bisa memakai materai
taupun tidak, itu pula tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Sebaiknya
memakai materai agar jaminan hukumnya lebih kuat, dan jika salah satu pihak
tidak memenuhi kewajibannya, pihak yang dirugikan dapat meminta pertanggung
jawabannya atas nama hokum. Hati – hati dalam penandatanganan ini, periksa
semua point – point yang ada jangan sampai ada yang tertinggal dan salah, koreksi
dengan benar.

10) Pastikan kompensasi yang tercantum pada MOU yang terkait dengan permintaan ataupun pemberian sposor /media sudah terlaksana sebelum hari H
Sesuai dengan M.O.U yang telah ditanda tangani oleh pihak panitia dan
perusahaan maka tugas kita adalah memastikan apakah point yang terkait dengan
sebelum acara berlangsung terpenuhi semua, sebagai contoh:

a) Jika kita mendapat media partner yaitu Koran/majalah, radio & TV, pastikan
iklan – iklan yang harusnya adalah jatah kita terlaksana, sepeti radio adlips
sebanyak 2 kali sehari terdengar diradio tersebut, lalu Koran/majalah biasanya mereka akan menentukan sendiri ataupun kita yang menentukan kapan tanggal
terbitnya iklan kita tersebut, lalau tugas kita adalah memastikan bahwa iklan kita
tercetak/terpampang di Koran/majalah tersebut pada hari yang telah ditentukan (
biasanya Koran/majalah memberi kita jatah1 – 5 eksemplar kepada panitia )
periksa apakah benar iklan acara kita terdapat dialam majalah/Koran pada edisi
tersebut.

b) Kompensasi yang kita berikan kepada perusahaan seperti logo mereka yang
ada disetiap materi publikasi (spanduk, backdrop, banner, t shirt panita dll )
pastikan jangan sampai ada logo yang tertinggal karena bisa menyebabkan
kerugian pada pihak panitia apabila perusahaan tersebut telah setuju mensponsori
& mem-media partneri acara kita, kita tidak memasukan logo mereka disalah satu
materi publikasi.

c) Apabila di M.O.U terdapat point untuk membagikan ticket sponsor & media
partner, pastikan ticket telah terkirim seminggu setelah acara ataupun jangan
sampai terburu buru mengirimnya jika telat naik cetak.

Pastikan semua kompensasi yang tercantum pada MOU yang terkait dengan
permintaan ataupun pemberian sposor /media sudah terlaksana sebelum hari H.

11) Pada saat acara, Pastikan kompensasi yang tercantum pada hari H terlaksana semua
Pada saat acara berlangsung pastikan semua kompensasi yang tercantum pada
M.O.U yang harus dilaksanakan pada hari H terlaksana semua, contohnya:

a) Jika ada sponsor & media partner yang mendapat jatah stand bazzar produk
mereka, pastikan mereka terlayani dengan baik & memuaskan mereka.

b) sponsor & media partner yang mendapat undangan /ticket gratis layanilah
dengan baik sehingga mereka merasa nyaman & senang telah mensupport acara
kita.

c) Jangan lupa buat press release untuk media media yang datang, jika perlu
adakan press conference sebelum acara dilangsungkan.

d) Jika ada media yang akan mengadakan live report, bisa media radio maupun
televisi layani dengan baik & ramah, jangan lupa berikan semua informasi
informasi mengenai acara kita.

e) Pastikan semua materi publikasi yang berisikan materi logo mereka terlihat oleh
pihak sponsor & media partner.

Pastikan semua kompensasi yang tercantum pada MOU yang terkait dengan
permintaan ataupun pemberian sposor /media sudah terlaksana pada hari H.

12) Jangan lupa pertanggung jawaban terhadap sponsor maupun media
Setelah acara yang telah kita buat selesai janganlah kita berpuas diri, jika acara
kita sukses kita harus bersyukur tapi harus tetap dievaluasi kembali bagaimana
kinerja kita dari awal sampai akhir. Lalu jangan sampai kita lupa akan kewajiban
kita kepada pihak sponsor & media partner yang telah membantu kita. Kita harus
membuat laporan pertanggung jawaban acara dan juga semua hal yang
berhubungan dengan sponsor & media partner, semua materi publikasi spanduk,
backdrop, banner, t shirt panita dll jika bisa diberikan kepada sponsor & media
partner, missal spanduk & backdrop yang berukuran kecil cukup foto – fotonya
saja, yang pasti logo mereka harus terlihat. Dan jika poster, flyer dan benda-benda
kecil lainnya berikan 1-3 buah untuk dimasukan di LPJ. Jangan sampai ada materi
yang tercecer dan juga ketinggalan yang berhubungan dengan acara. Dan
sesegera mungkin kirim laopran pertanggung jawabannya secepat mungkin dan
jangan ditunda tunda.


13) Jalin hubungan baik dengan sponsor / media jika acara kita akan berkelanjutan
Jika acara kita adalah event tahunan yang akan terus berkelanjutan, tidak ada
salahnya untuk tetap menjalin hubungan, baik itu tegur sapa lewat situs jejaring
social ataupun mengucapkan selamat pada hari raya. Selain berguna untuk acara
kita itu berguna juga untuk diri pribadi, menambah teman dan koneksi.