welcome

S E L A M A T _ D A T A N G _ D I _ B L O G _ F O R U M _ K O M U N I K A S I _ S I S W A _ S M A N _ 1 _ S I D A Y U

Kamis, 21 Juli 2011

11 TIPS SEORANG JURNALIS

1. Hubungan dengan narasumber harus dikontrol agar tidak terlalu dekat dan tidak terlalu renggang. 
Ini mengarahkan kita menjadi independen. Juga agar tidak diperalat. Menjadi wartawan bukan untuk mencari kawan, juga tidak mencari lawan — tapi mencari berita. Maka kalau ada wartawan [yang merasa] senior menegur anda, “Sudahlah, ngapain nulis kasus Pak Walikota, kita wartawan ini kan harus menjaga hubungan baik supaya banyak kawan,” jangan terpengaruh. Itu ajaran sesat. Tidak pernah ada dalam kode etik wartawan Indonesia, atau dalam kode etik wartawan di negara hantu belau mana pun, atau dalam mata kuliah jurnalistik, yang menyebutkan profesi wartawan adalah untuk mencari kawan sebanyak-banyaknya. Ingat: wartawan mencari berita — bukan mencari kawan, juga bukan lawan. “Sesungguhnya wartawan adalah pertapa yang hebat; yang sanggup kesepian di tengah keramaian; karena dia lebih peduli pada APA daripada SIAPA”. Sebagai wartawan, lebih bagus jika anda tidak punya profesi lain. Hindari menjadi pengurus parpol, LSM, apalagi pemborong. “Semakin sedikit predikat yang disandang, semakin baik seorang wartawan menulis,” ujar Katharine Graham, pemilik Washington Post. “Wartawan ya wartawan. Titik,” kata Bambang Soed dari Tempo.

2. Cara terbaik menjadi penulis yang baik adalah: mulai dulu menjadi pembaca yang baik.
Usahakan menulis feature setidaknya sekali dua minggu . Wartawan yang bisa menulis feature sudah pasti “sempurna” menulis berita biasa — yang berpola piramida terbalik. Sebaliknya belum tentu. Berita politik atau berita bisnis tidak dibaca semua orang. Tapi feature, iya. Semisal tulisan kaki halaman satu koran-koran milik Jawa Pos Grup yang terbit setiap hari; semua kalangan pembaca bisa menyukainya.

3. Berita bukan cuma mengenai pejabat, tapi kisah rakyat kecil.

Anda mungkin pernah membaca beberapa tahun lalu sebuah berita feature di halaman depan Kompas. Bukan mengenai Presiden yang bermain dengan cucunya; tapi tentang seorang buruh pabrik sandal yang diadukan ke polisi dengan tuduhan mencuri sepasang sandal. Padahal dia cuma memakai sebentar sandal itu ke mushola untuk sembahyang. Bayangkan, berita sepele itu muncul di halaman depan koran sebesar Kompas. Dan inilah kelemahan banyak koran daerah: sering menganggap hanya berita tentang gubernur atau bupatilah yang layak di halaman depan; padahal justru kisah-kisah humanis tentang orang-orang kecil itulah yang idealnya diangkat pers ke permukaan. Apakah itu karena wong cilik tak mampu kasih amplop kepada wartawan seperti halnya amplop temu pers pejabat? Tak usah jawab; tersenyum sajalah.

4. Jurnalisme adalah pekerjaan orang-orang kreatif. Anda tidak kreatif?

Bagi penulis dan jurnalis, menemukan ide-ide, apalagi orisinal, bagai menemukan harta karun. Perhatikan lingkungan; jangan cuma lihat. Simak pembicaraan orang; jangan hanya dengar. Berpikir kreatif kulakukan dengan berkhayal sebelum tidur di tengah malam; atau ketika jongkok di toilet sambil mengepulkan asap rokok. Bila ide muncul, langsung dicatat di kertas atau laptop.

5. Sebisa mungkin jangan kutip jargon dan retorika pejabat. 
Itu gaya pers era Soeharto. Pakai kata khusus; bukan kata umum. Hindari repetisi dan kata-kata berkabut. Tulislah “Lima penjambret dompet ditangkap dalam perayaan Natal dan sudah dimasukkan ke sel Poltabes Siantar.” Tapi jangan tulis “Sejumlah kriminal diamankan aparat untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya karena melakukan tindak pidana dalam perayaan hari raya Kristen yang suci dan khusyuk.” Kalimat seperti ini ditemukan tiap hari di koran daerah, dan itu membuat tersenyum geli. Tak ada salahnya sesekali bereksperimen dengan kosa-kata dan frasa baru. Itu membuat karya anda senantiasa segar dan tidak membosankan. Jangan pernah berpikir akan dipuji sebagai wartawan hebat karena anda menulis istilah-istilah sulit, berbahasa asing, dan ilmiah. Bila anda gemar menyelipkan kata-kata ilmiah pada setiap kalimat dan alinea, cobalah menulis buku pelajaran atau jadi dosen — anda sudah kesasar berprofesi sebagai wartawan.

6. Semakin jarang mengutip sumber anonim, semakin baik.

Semakin berani seorang sumber disebutkan identitasnya, semakin kecil kemungkinan ia berbohong. tips untuk ini. Jika kita mulai curiga si narasumber berbohong, kita langsung mengeluarkan alat perekam atau kamera. Jika memang sedang berbohong, biasanya dia menolak untuk direkam atau difoto, lalu berhenti mengoceh.

7. Wartawan harus berkarakter.
 Jangan jadi wartawan kebanyakan. sekilas dari Pemred Radar Medan, Choking Susilo Sakeh, saat menarikku dari daerah menjadi redaktur. Maka anda harus jadi wartawan berkarakter. Yang dimaksudkan adalah karakter pada tulisan; bukan penampilan diri, apalagi kalau harus menggondrongkan rambut dan memakai sandal jepit ketika meliput. Jadikanlah ruang redaksi sebagai tempat bekerja sekaligus belajar. Buatlah pembaca membolak-balik koran hanya untuk mencari tulisan anda. Pendiri Kompas Jacob Oetama mengatakan, setiap wartawan harus menetapkan etika dan standarnya sendiri-sendiri. Pada 1999 atau 2000 sebuah feature-ku, dengan dua tokoh utama, dibuatkan nama oleh redaktur [waktu itu] Porman Wilson sebagai Jeges dan Roa. Tulisan itu menjadi lebih hidup. “Wajah Sang Bupati dijilat sampai berselemak …,” begitu penambahan dari Porman — yang juga seorang penyair — yang tulisannya memang khas. Soal gelar narasumber tadi, tentu ada pengecualian. Misalnya berita seminar ilmu fisika, kita harus menulis gelar si pembicara agar publik tahu layak tidaknya dia bicara soal fisika. Atau dalam berita walikota yang baru dilantik, tentu bagus menjelaskan apa saja gelarnya untuk pertama kali. Jangan sesekali menjiplak berita dari wartawan lain, apalagi menjiplak yang sudah terbit. Banyak wartawan tukang jiplak? Karena itulah karya-karyanya tidak berkarakter.

8. Belajarlah memotret.

Berita koran akan lebih menarik jika disertai foto. Meskipun tugas utama reporter adalah menulis, sebaiknya jangan malas memotret. Terkadang sebuah foto yang kuat lebih layak menghabiskan lima kolom koran dibanding berita. Tiga hal pokok dalam foto jurnalistik adalah momen [waktu terbaik menjepret tombol pembuka rana], angle [posisi kamera], dan komposisi gambar. Foto jurnalistik yang baik tidak selalu harus fokus atau berwarna tajam dan indah. Yang utama ialah: foto itu menjelaskan sesuatu. Katakan seorang reporter menyertakan foto untuk berita rapat pemkab seperti ini: gambar seorang PNS memunguti kertas yang lepas dari tangannya dengan latar bupati sedang berbicara. Jika menjadi redaktur, smua akan memakai foto itu daripada foto close-up si bupati.

9. Jangan menginterogasi; anda bukan polisi.

Tugas wartawan sebatas memberitahu publik apa yang terjadi. Maka jangan memosisikan diri sebagai interogator, jaksa, atau hakim ketika mewawancarai narasumber. Di Balige ada seorang wartawan tua yang terkenal dengan pertanyaannya yang tajam, bahkan sering sampai terkesan kasar. Tapi dia cuma menjadi pejantan tangguh ketika wawancara; kebanyakan hasil wawancara dan liputannya tidak pernah ditulis. Menggertak biar dikasih amplop? Pakailah bahasa yang santun. Kritis tidak berarti harus kasar. Lebih baik kita terlihat bodoh di depan narasumber daripada konyol di mata pembaca. Masih di Balige, ada seorang jurnalis muda yang bekerja di sebuah koran Medan beroplah besar, yang dalam wawancara malah lebih sering menyampaikan pernyataan berupa pujian kepada narasumber — bukan pertanyaan. Menjilat biar dikasih amplop?

10. Senjata wartawan yang paling ampuh adalah bertanya.

Amunisi paling tajam adalah kata-tanya “mengapa”. sumua akan menyadari itu setelah membaca sebuah puisi terjemahan berjudul Jangan pernah membunuh pertanyaan.

11. Akhirnya …, bagaimana dengan amplop?

Jangan pernah meminta. Kalau diberikan, dan anda yakin obyektivitas anda menulis tidak terganggu, terima saja. Tapi kalau amplop itu memengaruhi anda menulis, sebaiknya tunda untuk menerima. Setelah berita terbit dan narasumber anda tetap ingin memberikan, itulah momen yang tepat untuk anda menerima!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar