welcome

S E L A M A T _ D A T A N G _ D I _ B L O G _ F O R U M _ K O M U N I K A S I _ S I S W A _ S M A N _ 1 _ S I D A Y U

Minggu, 24 Juli 2011

PENERAPAN KODE ETIK JURNALISTIK DALAM MENINGKATKAN KINERJA PROFESINYA

Pers adalah merupakan sebuah dan salah satu lembaga yang sangat urgen dalam ikut serta mencerdaskan serta membangun kehidupan bangsa, yang hanya dapat terlaksana jika pers memahami tanggung jawab profesinya serta norma hukum guna meningkatkan peranannya sebagai penyebar informasi yang obyektif, menyalurkan aspirasi rakyat, memperluas komunikasi dan partisipasi masyarakat, terlebih lagi melakukan kontrol sosial terhadap fenomena yang timbul berupa gejala-gejala yang dikhawatirkan dapat memberi suatu dampak yang negatif.

Profesi adalah suatu pekerjaan yang dimiliki seseorang dengan pendidikan dan mempunyai sifat mandiri, seperti halnya dalam bidang/pekerjaan jurnalistik. Olehnya diperlukan adanya suatu kode etik bagi seorang jurnalistik sebagai pedoman serta pegangan, karena etika merupakan sesuatu yang lahir dan keluar dari hati nurani seseorang, yang sangat diharapkan dapat mendorong serta memberi pengaruh positif dalam menjalankan tugas serta tanggung jawabnya sesuai profesi yang dijalankannya.

Berbicara masalah etika, khususnya dalam profesi jurnalistik (wartawan) sangatlah menghadapi tantangan yang besar terlebih dalam era globalisasi. Dari satu sisi, kemajuan dan perubahan teknologi mendorong perubahan nilai-nilai moral dan etika, dengan demikian makin kompleksnya masyarakat makin banyak dilema moral yang harus dipertimbangkan, di sisi lain hal ini menjadikan semakin sulitnya untuk menimbang secara jernih apa yang etis serta apa yang tidak etis. Hal ini paling tidak menjadikan etika sulit ditegakkan, meski etika juga semakin penting untuk menjaga kepentingan profesi.

Keberadaan dan pelaksanaan kode etik jurnalistik sebagai norma atau disebut landasan moral profesi wartawan dikaitkan dengan nilai-nilai Pancasila, oleh karena kode etik jurnalistik merupakan kaidah penentu bagi para jurnalis dalam melaksanakan tugasnya, sekaligus memberi arah tentang apa yang seharusnya dilakukan serta yang seharusnya ditinggalkan. Namun walau demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam praktek sehari-hari masih terdapat (tidak semuanya) berbagai penyimpangan-penyimpangan terhadap kode etik jurnalistik maupun terhadap ketentuan-ketentuan lain (norma-norma hukum) yang berlaku bagi profesi ini.

Hal ini barangkali dapat dimaklumi, sebab mereka yang berkecimpung di dalam dunia jurnalistik adalah manusia, sama halnya dengan profesi lainnya. Demikian pula bahwa terkadang suatu keadaan dan kondisi tertentu ikut mempengaruhi banyak hal di dalam bidang ini, sehingga mungkin saja memunculkan suatu pemikiran, bahwa diperlukan adanya perubahan-perubahan di dalam kode etik itu sendiri atau kesadaran manusianya yang perlu ditingkatkan.

Pengertian Kode Etik Profesi
 

Keiser dalam (Suhrawardi Lubis, 1994: 6-7), etika profesi adalah sikap hidup berupa keadilan untuk memberikan pelayanan profesional terhadap masyarakat dengan ketertiban penuh dan keahlian sebagai pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap masyarakat.

Sedang Magnis Suseno (1991: 70) membedakan profesi sebagai profesi pada umumnya dan profesi luhur. Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian khusus. Pengertian profesi tersebut adalah pengertian profesi pada umumnya, sebab disamping itu terdapat pula yang disebut sebagai profesi luhur, yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan suatu pelayanan pada manusia atau masyarakat.

Tujuan Etika Profesi
 

Suhrawadi Lubis (1994: 13) menyatakan bahwa yang menjadi tujuan pokok dari rumusan etika dalam kode etik profesi antara lain :
a. Standar-standar etika, yang menjelaskan dan menetapkan tanggung jawab kepada lembaga dan masyarakat umum.
b. Membantu para profesional dalam menentukan apa yang harus mereka perbuat dalam mengahadapi dilema pekerjaan mereka.
c. Standar etika bertujuan untuk menjaga reputasi atau nama para profesional.
d. Untuk menjaga kelakuan dan integritas para tenaga profesi.
e. Standar etika juga merupakan pencerminan dan pengharapan dari komunitasnya, yang menjamin pelaksanaan kode etik tersebut dalam pelayanannya.

Fungsi Etika Profesi
 

Fungsi etika profesi antara lain:
a. Sebagai sarana kontrol sosial;
b. Mencegah pengawasan atau campur tangan pihak luar;
c. Untuk membangun patokan kehendak yang lebih tinggi.

Pengertian Jurnalistik
 

Pada prinsipnya jurnalistik merupakan cara kerja media massa dalam mengelola dan menyajikan informasi kepada khalayak, yang tujuannya adalah untuk menciptakan komunikasi yang efektif, dalam arti menyebarluaskan informasi yang diperlukan. Jurnalistik sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu diurna dan dalam bahasa Inggris journal yang berarti catatan harian.

Adinegoro mengatakan bahwa jurnalistik adalah kepandaian, kecerdasan, keterampilan dalam menyampaikan, mengelola dan menyebarluaskan berita, karangan, artikel, kepada khalayak seluas-luasnya dan secepat-cepatnya. Sedang dalam kamus Jurnalistik (1988: 9) dijelaskan bahwa jurnalistik adalah suatu kegiatan untuk menyiapkan, mengedit dan menulis untuk surat kabar atau majalah atau yang berkala lainnya.

Sehubungan dengan pengertian kode etik di atas, menurut maka UU. No. 40 Tahun 1999 Bab 1 Pasal 1 Poin 14, bahwa “Kode Etik Jurnalistik adalah himpunan etika profesi kewartawanan”, sedang wartawan dalam point 4 dinyatakan sebagai “orang yang secara teratur melakukan kegiatan jurnalistik”.

Pembahasan
 

Suatu kegiatan jurnalistik dapat dikatakan berkualitas apabila memiliki suatu karakter, kemampuan teknis, bobot dan kualitas ide yang dibawakan serta dari segi manajemen yang profesional.

Sesuatu hal yang sangat penting di dalam dunia jurnalistik adalah menyangkut masalah pemberitaan. Olehnya suatu media atau penerbitan dapat dikatakan baik jika berita atau informasi serta hal-hal yang disajikannya juga baik. Guna menunjang hal tersebut, terdapat beberapa faktor yang selayaknya diperhatikan dengan baik, antara lain fakta, opini serta desas-desus.

Fakta adalah sesuatu yang benar-benar terjadi. Jika seseorang membuat suatu pernyataan, maka yang menjadi faktanya adalah orang yang menyampaikan pernyataan tersebut, sampai kemudian pernyataan tersebut dapat dibuktikan dengan jelas, sehingga apabila diangkat sebagai suatu berita, kebenaran serta sumbernya terjamin dan dapat dipercaya.

Adapun opini adalah suatu analisa atau pendapat dan terkadang pula berupa ulasan-ulasan seorang wartawan yang kerap muncul di setiap media dalam bentuk suatu tajuk rencana, kolom/rubrik ataupun sorotan dan lain-lain, yang disertai dengan nama penulisnya. Para pembaca umumnya membutuhkan adanya suatu pendapat/opini yang disajikan secara jelas guna membantu mereka dalam menilai suatu berita serta membentuk opini tersendiri.

Sedang desas-desus adalah pernyataan yang dibuat oleh sumber berita atau wartawan, tetapi tanpa didasari oleh otoritas yang cukup memadai, dan sering terjadi muncul pemberitaan yang tidak disebutkan sumbernya secara jelas.

Kode Etik Jurnalistik

 
Kode etik merupakan prinsip yang keluar dari hati nurani setiap profesi, sehingga pada tiap tindakannya, seorang yang merasa berprofesi tentulah membutuhkan patokan moral dalam profesinya. Karenanya suatu kebebasan termasuk kebebasan pers sendiri tentunya mempunyai batasan, dimana batasan yang paling utama dan tak pernah salah adalah apa yang keluar dari hati nuraninya. Dalam hal ini, kebebasan pers bukan bukan saja dibatasi oleh Kode Etik Jurnalistiknya akan tetapi tetap ada batasan lain, misalnya ketentuan menurut undang-undang.

Pada prinsipnya menurut Undang-undang No. 40 Tahun 1999 menganggap bahwa kegiatan jurnalistik/kewartawanan merupakan kegiatan/usaha yang sah yang berhubungan dengan pengumpulan, pengadaan dan penyiaran dalam bentuk fakta, pendapat atau ulasan, gambar-gambar dan sebagainya, untuk perusahaan pers, radio, televisi dan film.

Guna mewujudkan hal tersebut dan kaitannya dengan kinerja dari pers, keberadaan insan-insan pers yang profesional tentu sangat dibutuhkan, sebab walau bagaimanapun semua tidak terlepas dari insan-insan pers itu sendiri. Olehnya, seorang wartawan yang baik dan profesional sedapat mungkin memiliki syarat-syarat, yaitu : bersemangat dan agresif, prakarsa, berkepribadian, mempunyai rasa ingin tahu, jujur, bertanggung jawab, akurat dan tepat, pendidikan yang baik, hidung berita dan mempunyai kemampuan menulis dan berbicara yang baik.

Pada bab pembukaan kode etik jurnalistik dinyatakan bahwasanya kebebasan pers adalah perwujudan kemerdekaan menyatakan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 UUD 1945, yang sekaligus pula merupakan salah satu ciri negara hukum, termasuk Indonesia. Namun kemerdekaan/kebebasan tersebut adalah kebebasan yang bertanggung jawab, yang semestinya sejalan dengan kesejahteraan sosial yang dijiwai oleh landasan moral. Karena itu PWI menetapkan Kode Etik Jurnalistik yang salah satu landasannya adalah untuk melestarikan kemerdekaan/kebebasan pers yang bertanggung jawab, disamping merupakan landasan etika para jurnalis. Di antara muatan Kode Etik Jurnalistik adalah:

KEPRIBADIAN WARTAWAN INDONESIA
Wartawan Indonesia adalah warga negara yang memiliki kepribadian, yaitu : bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila, taat pada UUD 1945, bersifat kesatria, menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dan berjuang untuk emansipasi bangsa dalam segala lapangan, sehingga dengan demikian turut bekerja ke arah keselamatan masyarakat Indonesia sebagai anggota masyarakat bangsa-bangsa.

PERTANGGUNGJAWABAN
Bahwa seorang wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan perlu/patut atau tidaknya suatu berita, tulisan, gambar, karikatur dan sebagainya disiarkan.

Kaitannya dengan hal di atas, dalam kenyataan yang ada masih terdapat banyak media cetak yang memuat berita atau gambar yang secara jelas bertentangan dengan kehidupan sosial yang religius. Namun walau demikian tampaknya gejala ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai suatu kewajaran dalam rangka mengikuti perkembangan zaman, sehingga batasan-batasan etika dan norma yang harusnya dikedepankan, menjadi kabur bahkan tidak lagi menjadi suatu pelanggaran kode etik, maupun norma/aturan hukum yang ada.

Sebagaimana dalam Pasal 5 ayat (1) UU. No. 40/1999 disebutkan bahwa “Pers nasional berkewajiban memberikan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah”. Serta ditambahkan lagi dalam Pasal 13 yang memuat larangan tentang iklan, yaitu iklan yang memuat unsur : Mengganggu kerukunan hidup antar umat beragama, minuman keras, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya dan penggunaan wujud rokok atau penggunaan rokok.

Pertanggungjawaban dalam hal ini dapat pula terkait dengan keberpihakan seorang wartawan terhadap seseorang atau suatu golongan tertentu. Namun lagi-lagi dalam kenyataannya menunjukkan bahwa keberpihakan tersebut tampaknya telah menjadi trend dan seolah tidak dipermasalahkan lagi.

CARA PEMBERITAAN DAN MENYATAKAN PENDAPAT
Seorang wartawan hendaknya menempuh jalan dan cara yang jujur untuk memperoleh bahan-bahan berita dan tulisan, dengan meneliti kebenaran dan akurasinya sebelum menyiarkannya serta harus memperhatikan kredibiltas sumbernya. Di dalam menyusun suatu berita hendaknya dibedakan antara kejadian (fakta) dan pendapat (opini) sehingga tidak mencampurbaurkan antara keduanya, termasuk kedalamnya adalah obyektifitas dan sportifitas berdasarkan kebebasan yang bertanggung jawab, serta menghindari cara-cara pemberitaan yang dapat menyinggung pribadi seseorang, sensasional, immoral dan melanggar kesusilaan.

Penyiaran suatu berita yang berisi tuduhan yang tidak berdasar, desas-desus, hasutan yang dapat membahayakan keselamatan bangsa dan negara, fitnahan, pemutarbalikan suatu kejadian adalah merupakan pelanggaran berat terhadap profesi jurnalistik.

Menanggapi besarnya kesalahan yang dapat ditimbulkan dari proses/cara pemberitaan serta menyatakan pendapat di atas, maka dalam kode etik jurnalistik diatur juga mengenai hak jawab dan hak koreksi, dalam artian bahwa pemberitaan/penulisan yang tidak benar harus ditulis dan diralat kembali atas keinsafan wartawan yang bersangkutan, dan pihak yang merasa dirugikan wajib diberi kesempatan untuk menjawab dan memperbaiki pemberitaan dimaksud.

SUMBER BERITA
Seorang wartawan diharuskan menyebut dengan jujur sumber pemberitaan dalam pengutipannya, sebab perbuatan mengutip berita gambar atau tulisan tanpa menyebutkan sumbenya merupakan suatu pelanggaran kode etik. Sedang dalam hal berita tanpa penyebutan sumbernya maka pertanggung jawaban terletak pada wartawan dan atau penerbit yang bersangkutan.

KEKUATAN KODE ETIK
Kode etik dibuat atas prinsip bahwa pertanggung jawaban tentang penataannya berada terutama pada hati nurani setiap wartawan Indonesia. Dan bahwa tidak ada satupun pasal dalam kode etik (jurnalistik) yang memberi wewenang kepada golongan manapun di luar PWI untuk mengambil tindakan terhadap seorang wartawan Indonesia atau terhadap penerbitan pers. Karenanya saksi atas pelanggaran kode etik adalah hak yang merupakan hak organisatoris dari PWI melalui organ-organnya.

Menyimak dari kandungan kode etik jurnalistik di atas tampak bahwa nilai-nilai moral, etika maupun kesusilaan mendapat tempat yang sangat urgen, namun walau demikian tak dapat dipungkiri bahwa kenyataan yang bebicara di lapangan masih belum sesuai dengan yang diharapkan.

Namun terlepas dari apakah kenyataan-kenyataan yang ada tersebut melanggar kode etik yang ada atau norma/aturan hukum atau bahkan melanggar kedua-duanya, semua ini tetap terpulang pada pribadi insan pers bersangkutan, dan juga kepada masyarakat, sebab masyarakat sendirilah yang dapat menilai penerbitan/media yang hanya mencari popularitas dan penerbitan/media yang memang ditujukan untuk melayani masyarakat, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dengan tetap menjunjung tinggi kode etiknya.

Penutup
 

Penerapan kode etik jurnalistik yang merupakan gambaran serta arah, apa dan bagaimana seharusnya profesi ini dalam bentuk idealnya oleh sebagian pers atau media massa belum direalisasikan sebagaimana yang diharapkan, yang menimbulkan kesan bahwa dunia jurnalistik (juga profesi lain) terkadang memandang kode etik sebagai pajangan-pajangan yang kaku. Namun terlepas dari ketimpangan dari apa yang seharusnya bagi dunia jurnalistik tersebut, tampaknya hal ini berpulang pada persepsi dan obyektifitas masyarakat/publik untuk menilai kualitas, bobot, popularitas maupun keberpihakan dari suatu media massa.

Kebebasan pers yang banyak didengungkan, sebenarnya tidak hanya dibatasi oleh kode etik jurnalistik, tetapi terdapat aturan lain yang dapat dipergunakan untuk mewujudkan apa yang seharusnya. Untuk itulah masih diperlukan langkah-langkah konkrit dalam rangka mewujudkan peran dan fungsi pers, paling tidak menutup kemungkinan untuk dikurangi dari penyimpangan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar